Apalagi yang menjadi alasan untuk menulis,
selain kegelisahan.
Lama tidak singgah di ruang yang sepi
penghuni ini, aku ingin kembali menulis, karena disini aku sedang gelisah. Seperti
biasa, dilirik atau tidak dilirik, dibaca, atau tidak dibaca. Ini hanya upaya agar
rasa gelisah ini mereda.
Ya, aku teringat dialog sederhanaku dengan seseorang
“kegelisahan itu
penting, agar kita tidak diam, tidak menetap pada satu titik aman. Gelisah itu
penting agar kita segera beranjak mencari ketenangan”.
Dan teruntuk
kalian yang biasanya diam-diam membaca tulisan di blog ini, tanpa meninggalkan
kesan di kolom komentar, tapi lebih memilih berkirim pesan ke ponsel, sosmed, atau
email, jangan berekspektasi bahwa tulisan ini akan kembali nyinyir tentang
cinta, renungan sok bijak, hewan peliharaan, atau tentang teman kecilku. Ini
sedikit bergeser dari biasanya.
Entah kenapa
aku tergelitik untuk ikut berkomentar tentang fenomena di dunia maya yang
muncul berkali-kali dengan sangat nyintir beberapa hari ini di beranda akun facebook yang aku
miliki.
Entah ini
efek pekerjaanku sekarang?
Ya, sudah
beberapa bulan belakangan aku sedang asyik bermain-main dengan dunia digital. Jangan
berpikir dulu bahwa aku tersesat !
Aku (masih)
asyik dengan dunia yang kucintai, yakni menulis, meski kali ini menulis konten,
ya setelah memilih meninggalkan posisi script writer di salah satu TV swasta,
kini aku beralih pada posisi content writer. Ya, sepertinya ini yang menjadi
pemicu rasa gelisah ini. Sehari-hari berurusan dengan konten dan digital
marketing, aku jadi menaruh perhatian yang agak berlebihan pada konten.
BRAND X Inginkan Hewan-Hewan Ini Musnah
BRAND X dan Kuis Kontroversial Musnahkan Satwa
BRAND X Ingin Musnakan Hewan
Posting Pertanyaan ‘Hewan yang Ingin Anda Musnahkan’ BRAND X Tuai Kecaman
Berselancarlah.
Kamu akan dengan mudah menemukan artikel dengan judul-judul yang fontnya besar, dan di bold. Ya,
penulisnya pasti ingin tulisan itu dibaca publik.
Ini memang
sebuah kesalahan !
Membuat
konten dengan pertanyaan ‘yang manakah jika kamu ingin salah satu hewan ini
musnah?’ dengan pilihan jawaban; singa, ular,buaya, hiu.
ahahahaha
koplak
Itu
pertanyaan idiot banget dr adminnya ttg hewan yang mau dimusnahkan. Aku mau
adminnya yang dimusnahkan gimana ?
bra bro bra
bro, pethuk kok dipiara. yg bikin konten siapa sih
ini ni
pertanyaan paling amat tolol yang pernah gue lihat
Blalalalalalala dan komentar lainnya...
Sederhananya
ini adalah terjemahan dari komentar orang banyak bahwa “apa ada hewan dimuka
bumi ini yang diciptakan Sang Pencipta untuk dimusnahkan oleh manusia?”.
Tanpa sempat
menjabarkan bahwa itu ternyata adalah bagian dari kuis psikotest untuk
mengetahui karakter manusia, netizen sudah terlanjur gusar
hingga memilih menghujat, berkomentar pedas, dan memaki. Admin/penulis konten
kelabakan, terbangun dari mimpi, tersadar ada hal yang luput dari perhatiannya.
Dihujat dan
menghujat kini sepertinya memang sudah menjadi hal yang biasa di dunia maya. Bahkan
hujatan, komentar, perang argumen itulah yang menjadi BERITA BESAR dan (seolah)
PENTING.
Komentar-komentar
di atas bukan hal baru bukan?
Jika
sehari-hari kamu sudah akrab dengan internet, pasti tidak akan terheran
komentar-komentar yang terlihat baik-baik saja yang sebenarnya ‘masih pedas’
untuk dikonsumsi manusia berhati. Sudah
biasa ?
Biasa, namun
aku tetap tak terbiasa.
------
Kurang dari
24 jam setelah banjir hujatan, cemooh, makian, hinaan, akhirnya sebuah postingan
berjudul PERMOHONAN MAAF muncul (Ya, huruf besar. Penulisnya pasti ingin
permohonan maafnya sampai, seperti halnya penulis berita/artikel tadi yang
menginginkan tulisan dan ulasannya tentang kesalahan ini dibaca publik).
Memohon maaf,
menyesali, bahkan mengucapkan terimakasih atas masukan, komentar, dan
perhatian.
Apa itu
masih belum mangkus mengusir kegusaran?
Jawabannya
BELUM.
Diantara
banyaknya dukungan atas sikap admin/penulis konten yang juga mewakili brand yang
meminta maaf dan mengakui kesalahannya, masih terselib beberapa komentar
hujatan atau bahkan masih bernada sindiran.
Aaaaaih,
entahlah.
Harusnya itu
cukup. Bukankah kehidupan mengajarkan kita dengan pola seperti itu, bahwa
manusia adalah makluk yang tidak sempurna, tidak akan luput dari kesalahan dan
manusia harus siap dikritik, ditegur ketika sesuatu terjadi di luar kendalinya.
Bukankah ini
sudah ideal ?
Siap dikritik,
siap mengakui kesalahan, dan siap mengucapkan terimakasih karena ada
orang/pihak yang berkenan untuk menyita pikirannya agar sesuatu berjalan lebih
baik di depan.
Harusnya di
dunia semaya
inipun, malaikat itu bernama “Maaf”.
Apalagi yang hendak diurai ketika maaf sudah
terucap.
Bukankah maaf itu semacam pertanda bahwa masalah sudah selesai dan perlu
kewaspadaan lebih lanjut agar hal buruk berikutnya tidak terjadi.
Ah, maafkan kalau tulisan ini juga akhirnya
berisi emosi yang entah. Jauh dari ulasan atau study case sebuah kasus digital.
Maafkan :)
Tersenyumlah, semoga kita punya 'malaikat' di
hati kita masing-masing.
*Bukan ulasan teoritis, tapi tulisan iseng
sebagai bentuk proses belajar.
Belajar tentang kesalahan dan arti lebih dari
kata ‘maaf’
DuniaKata.yo.sinta
Jakarta, Juli 2015