Seseorang pernah (secara tidak sengaja)
menitip lagu tidur untukku. Waktu itu tiba-tiba ia memasangkan handsfree
ketelingaku, aku sedikit terheran dengan lagu yang ia putar di ponsel pintarku
kali ini. Sebuah lagu dari Vega Antares berjudul “Bukan Tuk Menghilang” itu
jelas kontras dengan pilihan lagu yang biasanya ia putar. “Ini lagu tidurku”
tuturnya.
Karena kami memutarnya lewat aplikasi soundCloud-aplikasi
pemutar musik secara online-dan ponsel canggihku tak secanggih yang diharapkan;
beberapa kali lagu itu terputus. Tapi ia sangat nyiyir waktu itu. Ia ingin aku
mendengarkan lagu itu hingga selesai.
Ia tertidur. Aku memutar lagu itu
berkali-kali.
jika kamu merasa
sendiri disana
dengarkan
suara lirihku dikeheningan
mungkin kamu
akan bisa terjaga
bertemankan
mimpi-mimpi indah malam
peganglah janjiku
saat kamu gelisah
yakinlah semuakan
indah
semua ini
kulakukan untuk kita
aku pergi
bukan untuk menghilang
jangan pernah
teteskan airmata
karna ku tak
pantas menerimanya
cobalah terima
keadaan ini
aku pergi
bukan untuk menghilang
Sebagai
sebuah lagu bergenre pop, aku cukup menikmati lagu itu. Aku menikmatinya, selayaknya
orang yang baru dikenalkan pada hal baru, tanpa pikir panjang; jangankan
berpikir maksudnya mengenalkan lagu itu padaku, menelaah liriknya saja waktu
itu aku tidak. Tapi ya, hidup memang tidak bisa diprediksi. Tiba-tiba sesuatu
terjadi. Aku dan dia tidak lagi bisa bertemu, bercerita banyak, atau hanya sekedar untuk bertukar lagu kesukaan seperti waktu itu dan beberapa waktu sebelumnya.
Entahlah, rumit juga jika dijelaskan //seperti orang mabuk yang sedang
dipukuli, hanya rasa sakit dan memar yang ada ketika ia sadar// tak tahu persis
sebab perkara//. Sesuatu, lain hal, dan banyak hal lainnya (yang entah) telah
membuat kami tidak lagi bertemu (sudah cukup lama).
Sejak kami
sudah sangat sulit bertemu. Hampir tiap malam aku mendengarkan lagu itu. Ya,
lagu tidur itu. Siapapun yang membaca, pasti akan paham bahwa ia orang yang
penting dalam hidupku. Kalian pernah menemukan alasan dalam hidup. Ya, dia
salah satu orang yang mengajarkanku dan memberikanku alasan untuk tetap
berjalan dan melanjutkan hidup. Kurasa itu cukup untuk menggambarkan betapa penting
ia dalam perjalananku. Kehilangan sosok yang penting dalam hidup tentunya
tidaklah semudah menghirup udara dari rongga hidung. Tapi ya sudahlah, itulah
hidup. Masih perlu menyatungan potongan-potongan kecil untuk menjadikannya kepingan
puzzle terakhirmu. Tak ada yang tahu dimana dan pada siapa potongan-potongan
kecil itu berserakan sebelum ia menjadi kepingan puzzle terakhir, dan melengkapi
gambarmu.
Aku berpikir
bahwa ia memang berisyarat sebelum ia pergi dari kehidupanku. Aku tidak menyebut
ini sebagai sebuah rencana, seperti pembunuh yang sudah merencakan pembunuhan.
Tapi aku menyebut ini isyarat. Aku percaya masing-masing kita punya kemampuan
membaca “gerak” (apa yang dimau dan dibutuhkan tubuh kita). Percayalah tak ada
yang kebetulan dan tanpa alasan dimuka bumi ini. Apapun yang terjadi, apapun
yang kita lakukan adalah perintah yang sah dari pikiran dan hati kita dan tentunya
ada campur tangan Tuhan didalamnya. Ya, waktu itu mungkin hati dan otaknya
memerintahkannya untuk segera berisyarat padaku dengan mengenalkan lagu itu,
karena ia telah mampu membaca “gerak”; tentang apa yang akan ia lakukan untuk
hidupnya.
Tapi
beberapa kejadian belakang dihidupku, membuatku berpikir keras tentang lagu
tidur itu. Dia yang menitip lagu tidur itu, memang kini berjarak dari hidupku.
Pergi. Tapi aku tak tahu persis, apa kepergiannya seperti lirik lagu tidur yang
tak sengaja ia titipkan itu. Dan ia juga tidak pernah berjanji seperti yang ada
pada lirik lagu itu. Tidak ada janji yang bisa kupegang saat aku gelisah, yang
aku tahu ia pergi.
Tapi perkara
kepergian, ini bukanlah hal pertama yang terjadi dalam hidupmu, mungkin
begitupun dalam hidup kalian. Bukankah hidup perkata hidup-mati, datang-pergi,
ada-musnah. Jika dia mungkin sudah berisyarat untuk meninggalkanku sendiri,
tapi ada banyak yang pergi tanpa aba-aba dan isyarat dalam hidupku. Ya, hidup
kalian juga.
Dulu sempat
waktu itu seseorang yang teramat penting dalam hidupku harus menghadapi kamar
rumah sakit, selang oksigen, infus, jarum suntik, obat-obatan dan hal menakutkan
lainnya yang mendekatkan ia pada kematian. Aku sempat berteriak lantang pada
Tuhan, waktu itu kutulis sajak singkat dengan judul “Diam”. Namun isinya
tidaklah sehening judul itu
AKU LELAH KEHILANGAN TUHAN !
YA !
AKU LELAH KEHILANGAN !
Parkiran Hitam, RS Yos Sudarso
15 November 2008
Aku sangat
marah waktu itu. Aku sangat takut jika aku lagi-lagi akan kehilangan.
Satu
peristiwa, dua peristiwa, peristiwa berikutnya, berikutnya, berikutnya,
akhirnya membuatku mulai berpikir bijak tentang ‘kehilangan’ dan ‘kepergian’. Bukankah
selama kita hidup kita akan menghadapi itu; ‘kepergian’ dan ‘kehilangan’. Bagaimana
bisa menyebutnya datang, kalau tidak ada yang pergi. Bagaimana akan mendapatkan
jika tidak kehilangan.
Tapi
percayakah kalian, bahwa mereka yang pergi; mereka yang hilang dari
kehidupanmu, tidak akan pernah benar-benar pergi dari kehidupanmu. Ya, aku
paham makna lirik dari lagu tidur itu “aku
pergi bukan untuk menghilang”. Tidak ada yang akan hilang dari kehidupanmu,
meski ia pergi. Aku percaya ada do’a yang menyampaikan kerinduan seorang anak
pada orangtuanya yang sudah tiada, rindu yang akan membawanya pada nasehat-nasehat terdahulu
sebagai bekal kehidupan hari depannya. Aku percaya ada getar yang disampikan
angin pada sepasang kekasih yang sedang merindu namun tak bisa berkabar, yang
masih akan membuat mereka percaya bahwa mereka masih saling menyayangi. Aku
percaya ada tangis bisu yang disimpan di balik bantal oleh dua sahabat yang
sangat ingin bertemu, namun terbatas ruang, dan itu akan mampu membuat mereka percaya
bahwa mereka masih saling menopang. Aku percaya itu.
Ya, itu
tandanya bahwa tidak ada yang benar-benar pergi dari hidupmu. Siapapun, seburuk
apapun, sekelam apapun kenangan yang kau miliki bersama seseorang, ia masih ada
dalam dirimu, tidak akan pernah hilang.
Seperti ia
yang menitip lagu tidur itu. Aku masih percaya bahwa saat ini ia sangat dekat
denganku. Ya, ia pasti mendengar saat aku berteriak kencang dalam hatiku bahwa
aku rindu, seperti aku yang juga mendengar teriakan yang sama disana, meski
kami saling bisu, tak bersuara. Tak apa, aku menerima kepergiannya meski ia tak
sempat pamit padaku dihari terakhir kami bertemu. Bahkan ia curang. Aku masih
sangat ingat hari itu. Bagaimana aku bisa marah padanya tentang pertemuan
terakhir itu; ia malah tumben-tumbennya mengabulkan inginku dengan segera,
membawakan rujak kesukaanku yang kuminta hari itu. Dengan bonus lagi, jus
stoberi (juga kesukaanku), padahal aku tak memintanya. Bahkan ia mengizinkan
aku menyoreti lengan kanannya dengan spidol, meski aku tahu persis ia tak suka
gambar yang aku buat. Ya, ia curang. Ia sudah lebih dulu membujukku untuk
menerima kepergiannya hari itu.
Dan entah televisi juga memiliki kemampuan
membaca gerak, dan berisyarat. Secara tiba-tiba aku dikenalkan pada sebuah lagu
yang waktu itu secara tidak sengaja menjadi soundtrack sebuah film (yang tidak
aku tonton). Tiba-tiba telingaku seperti diseret. Aku yang sedang membaca
sebuah buku di teras depan, tiba-tiba masuk ke ruang tengah, mengambil remote,
dan menggonta-ganti tayangan. Jariku terhenti seketika mendengar lagu itu,
bukan karena adegan romantis yang sedang ditawarkan film yang memang tidak
kutonton itu. Dengan menghafal beberapa penggalan liriknya, aku langsung
mengadu pada Google untuk mendapatkan judul dan penyanyi dari lagu yang
kudengar.
hari ini
begitu indah, ku langkahkan kakiku
dan angin pun menanya kabarmu
mengapa kau tak di sampingku
dan aku tersenyum, mereka tertipu
ku katakan bahwa kau kan menyusulku
dan malam pun bertanya kabarmu
yang tak ada di sampingku
karena mereka pun merasakan
hehilangan cahayamu
dan aku tersenyum, mereka tertipu
ku katakan bahwa kau kan menyusulku
dan angin pun menanya kabarmu
mengapa kau tak di sampingku
dan aku tersenyum, mereka tertipu
ku katakan bahwa kau kan menyusulku
dan malam pun bertanya kabarmu
yang tak ada di sampingku
karena mereka pun merasakan
hehilangan cahayamu
dan aku tersenyum, mereka tertipu
ku katakan bahwa kau kan menyusulku
Ya, judulnya “Aku Tersenyum” dibawakan oleh
Migi Parahita. Lagu dan penyanyi yang sama sekali tidak aku kenal sebelumnya.
Tapi sejak hari itu, ini lagu tidur berikutnya yang kerap mengantarkanku pada
tidur panjang tanpa mimpi. Lagu ini mengajarkan aku cara tersenyum, mengajarkan
aku cara bijak berikutnya untuk memahami “kepergian” dan “kehilangan”. Meski
aku percaya bahwa apa yang pergi, tidak pernah benar-benar pergi dan hilang
dari kehidupanku, tapi sebagai manusia aku juga harus tahu dan bersiap; bahwa
tidak semua yang pergi bisa kembali, menyusulku pada kehidupan berikutnya.
DuniaKata.yo.sinta
di penghujung
November 2014
*Siapapun
mereka; orangtua, saudara, teman, sahabat, mantan pacar, kekasih, bahkan musuh sekaligus. Percayalah,
mereka tidak akan pernah benar-benar pergi dari kehidupanmu. Mereka pergi bukan
untuk menghilang.