Pernahkah kalian mereka ulang semua jawaban,
penjelasan, atau apapun yang kalian pernah jabarkan dalam hidup. Lalu menghitung
berapa banyak kebohongan diantaranya. Mulai dari persoalan sederhana, saat
Ibumu bertanya “habis uang jajan tadi ?”, atau pertanyaan penting “sudah makan
tadi? ”, lalu pertanyaan serius berikutnya “apa kamu mencintaiku ?”.
Sebelum mengurai panjang lebar tentang
gelisah yang sedang ingin saya bagi, saya ingin meyakinkan siapa saja yang
membaca bahwa ini bukan artikel pendukung pelajaran ppkn/kewarganegaraan atau
pelajaran agama, atau pelajaran etika dan sopan santun sekalipun. Ini hanya
gelisah yang harusnya jadi celotehan. Namun dinding kamar yang sudah beku di
tengah malam begini membuat gelisah ini harus mengapung jadi kata-kata.
Suatu malam Joia gelisah tak bisa tidur, padahal matanya sangat
mengantuk sebelumnya. Dan padahal lagi, ia juga sudah berpamitan via ponsel
pintar dengan pacarnya. Di awal percakapan, sang pacar yang seharian sudah
bekerja tampaknya sangat mengantuk, tak banyak percakapan dan langsung
mengantarkan sebuah pesan pendek yang kerap jadi ending percakapan malam hari “yuuk,
istirahat”. Joia mengamini, iapun menaruh ponsel lalu mencoba untuk tidur. Namun
entah apa-entah kenapa-ia tak bisa tertidur. Setelah gelisah cukup lama, Joia memutuskan
untuk kembali meraih ponselnya. Ia melihat pesan via salah satu roomchat yang
tak dibaca oleh pacarnya. Ya, mungkin ia sudah tertidur. Namun entah feeling
dari mana, ia memutuskan untuk kembali mengirim pesan-Joia merasa pacarnya disana
masih terjaga, pesan itu juga sekaligus menjadi tanda dan kabar pada pacarnya
bahwa ia tak bisa tidur/belum tidur. Tapi ya, tetap tak dibaca. Joia makin
berpikir, ya pacarnya sudah tidur. Namun feeling, ponsel, dan jari seolah
bekerja sama malam itu, Joia membuka salah satu akun yang ia punya, pada sebuah
akun jejaring sosialnya, ponsel pintar Joia berhasil menemukan kebenaran
feelingnya “32 menit yang lalu pacarnya baru saja menyukai dua foto milik teman
di akun pribadi pacarnya itu”. Sebuah kehobongankah ini ? Karena lebih kurang
sudah satu jam yang lewat pacarnya meninggalkan obrolan mereka dan berisyarat
bahwa ia akan tidur. Joia diam-tak menunjukkan reaksi berlebihan, “ini hal
kecil” katanya.
Cerita milik seseorang ini membuat saya
gelisah. Lalu mempertanyakan tentang sebuah kejujuran. Seberapa mudah mulut
kita mengejawantahkan sebuah kebohongan. Saya memilih diam beberapa saat ketika
menyimak cerita Joia. Lalu saya me-reka kebelakang tentang kebohongan yang saya
miliki. Ya, ia berjalan beriringan, sebanyak kejujuran yang pernah saya
ungkapkan. Atau entahlah, mungkin lebih banyak. Atau (semoga) mungkin lebih
sedikit.
Namun pada buku bacaan mana saya harus
mencari penjelasan bahwa kebohongan adalah sesuatu yang baik. Kebohongan adalah
penyeimbang dari kejujuran yang kadang bisa membawa kita pada “kebodohan”. Kalian mungkin
pernah mendengar bukan “jangan jujur banget jadi orang, nanti gampang dibodohi”.
“Berbohong lebih baik dari pada jujur kalau itu menyakitkan”. Atau kalimat
sejenis lainnya yang hampir sama maknanya; anjuran agar kita sesekali (boleh)
berbohong demi kebaikan. Lantas, apa kebohongan bisa jadi cara agar kita
menjadi “yang pintar” saat berhadapan dengan orang lain. Saya sebenarnya mengurai hal yang abstrak.
Perkara kebohongan dan kejujuran hal yang tak bisa diraba bukan, mungkin hanya
dirimu dan Tuhanmu saja yang tahu.
Namun lagi-lagi ini gelisah yang harus saya
urai dan tuntaskan. Saya mulai ketakutan, saya mulai menyangsikan sebuah
kebohongan sekaligus kebenaran. Berapa kuatkan akhirnya hal yang kita bangun
jika pondasinya bercampur dengan kebohongan. Bukankah itu seumpama, kuli
bangunan yang mencampur adukan semen untuk bangunan yang sedang ia kerjakan dengan
bahan yang lebih murah/tak sesuai takaran semestinya/mencampur dengan bahan
lain yang lebih rendah kualitasnya ?? Bangunan itu tetap akan bisa berdiri,
juga tampak kokoh, tapi mungkin akan menjadi lebih mudah retak atau lebih buruknya
lagi hancur berkeping saat gempa datang.
Entahlah, atau mungkin ini perumpamaan yang
salah.
Berkata bahwa kita akan menjadi jujur, atau
janji bahwa kita tidak akan berbohong tentunya bukanlah hal sederhana. Kita
perlu berkali-kali harus mempertanyakan kembali tentang nilai dan arti
kejujuran itu pada hati.Tulisan ini bukan juga sebuah ajakan untuk
menjadi jujur. Karena saya juga belum tahu, kejujuran apa yang bisa sama-sama
kita amini.
Saya sedang membayangkan jika suatu hari Joia
memutuskan menikah dengan pacarnya. Lalu pada hari pernikahan itu Joia
mengurakan pertanyaan penting yang saya tuliskan di awal “apa kamu mencintaiku”.
Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pertanyaan manis berikutnya, “apa kamu akan
setia, mendampingiku selamanya?” Bukanlah itu lebih rumit, menjawab hal diluar
pengetahuan kita, kita tak punya kemampuan yang 100 % ampuh tentang prediksi
masa depan bukan. Apa jawaban ya adalah sebuah kejujuran, atau mungkin
kebohongan ??
Atau pada kondisi lain di hari pernikahan itu,
ada seorang perempuan yang duduk di bangku tamu, dan perempuan itu adalah pacar
dari pacarnya-yang akan jadi suaminya. Padahal sebelum memutuskan menikah Joia
pernah bertanya “apa saya perempuan satu-satunya di dunia ini yang kamu sayangi”.
Entahlah, apa itu bagian dari kebohongan untuk kebaikan.
Tapi entahlahlah. Lagi-lagi entahlah.
Kata-kata saya masih terbata untuk mengurai lebih banyak hal lagi tentang
kejujuran dan kebohongan.
Apakah kita memang tidak boleh berbohong,
seperti yang diajarkan oleh guru, ibu-bapak kita sejak kita kecil. Apakah menjadi
sangat ideal kalau kita tidak berbohong.
Apakah kita menjadi yang benar saat kita bisa
untuk tidak berbohong. Lalu, apakah ada yang bisa untuk tidak berbohong, dan
menyodorkan kebenaran setiap saat. Jika ada, bukanlah di dunia ini ….
“tak ada kebenaran yang benar-benar; BENAR”
??
DuniaKata.yosinta.