Aku selalu
menikmati perasaan kasmaran yang dikirimkan Tuhan.
Bahkan saat
rasa itu berubah menjadi rasa sakit; karena rindu yang tak kunjung bisa
kukendalikan.
Pernah
kalian melihat tapi tak bisa mendekat, lalu menyentuhnya. Mendengar tapi tak
bisa apa-apa. Berdekatan tapi tak bisa saling dekap, atau bahkan untuk saling
bertatap mata. Rindu, senandungkanlah ia berkali-kali ketika kau dijebak mimpi
buruk itu.
Ini bukan
cerita tentang patah hati. Bukan tentang cinta yang tak sampai. Atau bukan pula
tentang cinta yang tak berbalas. Ini tentang sesuatu yang aku yakini dekat. Namun
jauh saat aku mendekat.
“mungkin rencana
Tuhan, dugaku”
Sebagai perempuan kita sering menduga-duga saat setiap kali kita
diizinkan untuk jatuh cinta. Menduga bahwa dia pasangan yang dikirim Tuhan
untuk menghabiskan banyak waktu dari waktu singkat yang disediakan Tuhan di
bumi. Lalu menduga bahwa dia yang akan menghabiskan waktu berikutnya, di Surga
kelak.
Kerap kali kita menduga dengan sangat nyinyir bahwa dialah pemilik
tulang rusuk yang menjelma menjadi kita. Hingga lalu kemudian, dia menghilang.
Kita usai menduga.
Namun kita kembali menduga ketika dia tergantikan oleh dia, dia, dia,
dan dia berikutnya. Kita tak kunjung usai menduga bahwa dia yang berikutnya
juga dia yang akan menjadi laki-laki yang idealnya melindungi matamu dari
airmata yang mengganas, dari gelisah yang mengamuk, dan dari rasa sakit yang
meradang.
Kita kerap menyisakan kemungkinan setelah kita dihadapkan pada busuknya
keadaan, pahitnya kegagalan, sakitnya patah hati, dan tajamnya kenangan. Kita
masih menyisakan kemungkinan untuk dugaan-dugaan berikutnya. Kita sangat jarang
takut untuk kembali menduga.Kita kerap memilih untuk melanjutkan dugaan, bahwa dia
yang berikutnya adalah dia; pasangan yang akan membaca koran di beranda rumah
impianmu, saat kau sedang asik menyirami tanaman di halaman rumahmu yang penuh
bunga, dengan anak-anak yang sedang bersepeda di teras depan, yang tak lepas
dari pandanganmu dan lelakimu itu.
Ya, kita sering menduga. Bahwa dia, atau dia, atau dia, atau dia, atau
dia adalah teman sehidupmu yang bisa kau ajak menikmati secangkir teh hangat
saat akhir pekanmu, pasangan yang sedianya akan menghadiahkan kecupan, bunga,
dan paket liburan yang kerap berakhir dengan pelukan hangat. Dan dugaan manis
lainnya.
Entah siapa yang mengajarkan kita lihai menduga. Meski kita tahu
bahwa dugaan manis tak selalu memberikan bingkisan semanis dugaan itu sendiri.
Kita tak enggan menduga, meski kadang kita sudah tahu rasa sakit yang sedang
berada di depan dugaan itu.
Kita masih saja kerap menduga meski kerap apa yang diduga tak
pernah benar dan menjadi nyata. Kita kadang kerap menduga, padahal berharap
mungkin lebih indah dari pada menduga. Ya, berharap. Menyediakan harapan, bukan
dugaan. Meski dua hal ini memang sama-sama menyiapkan kemungkinan yang
menyakitkan. Namun sepahit-pahitnya harapan, ia masih lebih ramah dibanding
sebuah dugaan.
Harapan adalah doa yang mengapung ditengah-tengah pencarian//penantian
(karena mencari adalah menanti, dan menanti
sesungguhnya adalah mencari). Namun dugaan adalah garis final diantara
perjalanan panjang yang bisa jadi ternyata belum usai. Ya, (lagi) akan
kukatakan belajarlah berharap, dan kurangi menduga. Percayalah, menduga akan
lebih menyakitan dari pada sebuah harapan. Dugaan hanya akan menyediakanmu dua
kemungkinan, tepat atau tidak tepat. Namun harapan, pelan-pelan akan
mengajarkanmu tentang doa yang lambat dijawab, tentang doa yang dijawab dengan
cara yang lain, dan harapan juga yang mengajarkanmu untuk tabah menunggu. Harapan
menyediakan ruang longgar untukmu agar bisa ikhlas menerima lebih banyak
kemungkinan, karena ada banyak kemungkinan buruk diantara lebih banyak
kemungkinan baik, dan ada banyak kemungkinan baik diantara lebih banyak
kemungkinan buruk.
Aku sering menduga. Namun saat ini aku pelan-pelan aku akan
belajar berharap. Dan membiarkan harapanku dijawab dengan cara apapun; ia,
tidak, dia, bukan dia, sekarang, nanti, atau jawaban lainnya. Ya, ini tentang
jodoh. Aku sudah dikirimkan banyak “dia”. Menduga, menduga, dan menduga, itu
yang kerap aku lakukan.
Seperti kataku tadi, aku akan aku selalu menikmati perasaan
kasmaran yang dikirimkan Tuhan.Bahkan saat rasa itu berubah menjadi rasa sakit;
karena rindu yang tak kunjung bisa kukendalikan.Dugaan adalah sumber rasa sakit
yang kumaksud itu, rasa ngilu karena aku terlalu sering menduga. Aku terlalu
sering menduga bahwa ia dekat. Padahal semua itu perlahan menjauh lagi. Ya, aku
menduga. Padahal jalanku masih panjang, kenapa aku sudah menduga; memberi garis
final atas pencarian//penantian, yang ternyata belum (seharusnya) usai.
Saat ini aku sedang belajar berharap. Dan mengeja sebuah kalimat
atas apa yang pernah, sedang dan akan terjadi; “Mungkin
rencana Tuhan,” dugaku.
DuniaKata.yo.sinta
15 Oktober 2014
“Dan kita tak selalu akan bersama, menikah, lalu berketurunan
dengan orang yang selalu berusaha hadir untuk
kita. Atau tidak pula dengan orang yang selalu kita selipkan namanya dalam doa.Begitulah
jodoh. Sebuah teka-teki yang kadang lebih kecut dari segelas lemonade”