Pages

Selasa, 14 Oktober 2014

“mungkin rencana Tuhan, dugaku”

Aku selalu menikmati perasaan kasmaran yang dikirimkan Tuhan.
Bahkan saat rasa itu berubah menjadi rasa sakit; karena rindu yang tak kunjung bisa kukendalikan.

Pernah kalian melihat tapi tak bisa mendekat, lalu menyentuhnya. Mendengar tapi tak bisa apa-apa. Berdekatan tapi tak bisa saling dekap, atau bahkan untuk saling bertatap mata. Rindu, senandungkanlah ia berkali-kali ketika kau dijebak mimpi buruk itu.

Ini bukan cerita tentang patah hati. Bukan tentang cinta yang tak sampai. Atau bukan pula tentang cinta yang tak berbalas. Ini tentang sesuatu yang aku yakini dekat. Namun jauh saat aku mendekat.

“mungkin rencana Tuhan, dugaku”

Sebagai perempuan kita sering menduga-duga saat setiap kali kita diizinkan untuk jatuh cinta. Menduga bahwa dia pasangan yang dikirim Tuhan untuk menghabiskan banyak waktu dari waktu singkat yang disediakan Tuhan di bumi. Lalu menduga bahwa dia yang akan menghabiskan waktu berikutnya, di Surga kelak.

Kerap kali kita menduga dengan sangat nyinyir bahwa dialah pemilik tulang rusuk yang menjelma menjadi kita. Hingga lalu kemudian, dia menghilang. Kita usai menduga.

Namun kita kembali menduga ketika dia tergantikan oleh dia, dia, dia, dan dia berikutnya. Kita tak kunjung usai menduga bahwa dia yang berikutnya juga dia yang akan menjadi laki-laki yang idealnya melindungi matamu dari airmata yang mengganas, dari gelisah yang mengamuk, dan dari rasa sakit yang meradang.

Kita kerap menyisakan kemungkinan setelah kita dihadapkan pada busuknya keadaan, pahitnya kegagalan, sakitnya patah hati, dan tajamnya kenangan. Kita masih menyisakan kemungkinan untuk dugaan-dugaan berikutnya. Kita sangat jarang takut untuk kembali menduga.Kita kerap memilih untuk melanjutkan dugaan, bahwa dia yang berikutnya adalah dia; pasangan yang akan membaca koran di beranda rumah impianmu, saat kau sedang asik menyirami tanaman di halaman rumahmu yang penuh bunga, dengan anak-anak yang sedang bersepeda di teras depan, yang tak lepas dari pandanganmu dan lelakimu itu.

Ya, kita sering menduga. Bahwa dia, atau dia, atau dia, atau dia, atau dia adalah teman sehidupmu yang bisa kau ajak menikmati secangkir teh hangat saat akhir pekanmu, pasangan yang sedianya akan menghadiahkan kecupan, bunga, dan paket liburan yang kerap berakhir dengan pelukan hangat. Dan dugaan manis lainnya.

Entah siapa yang mengajarkan kita lihai menduga. Meski kita tahu bahwa dugaan manis tak selalu memberikan bingkisan semanis dugaan itu sendiri. Kita tak enggan menduga, meski kadang kita sudah tahu rasa sakit yang sedang berada di depan dugaan itu.

Kita masih saja kerap menduga meski kerap apa yang diduga tak pernah benar dan menjadi nyata. Kita kadang kerap menduga, padahal berharap mungkin lebih indah dari pada menduga. Ya, berharap. Menyediakan harapan, bukan dugaan. Meski dua hal ini memang sama-sama menyiapkan kemungkinan yang menyakitkan. Namun sepahit-pahitnya harapan, ia masih lebih ramah dibanding sebuah dugaan.

Harapan adalah doa yang mengapung ditengah-tengah pencarian//penantian (karena mencari adalah menanti, dan menanti sesungguhnya adalah mencari). Namun dugaan adalah garis final diantara perjalanan panjang yang bisa jadi ternyata belum usai. Ya, (lagi) akan kukatakan belajarlah berharap, dan kurangi menduga. Percayalah, menduga akan lebih menyakitan dari pada sebuah harapan. Dugaan hanya akan menyediakanmu dua kemungkinan, tepat atau tidak tepat. Namun harapan, pelan-pelan akan mengajarkanmu tentang doa yang lambat dijawab, tentang doa yang dijawab dengan cara yang lain, dan harapan juga yang mengajarkanmu untuk tabah menunggu. Harapan menyediakan ruang longgar untukmu agar bisa ikhlas menerima lebih banyak kemungkinan, karena ada banyak kemungkinan buruk diantara lebih banyak kemungkinan baik, dan ada banyak kemungkinan baik diantara lebih banyak kemungkinan buruk.

Aku sering menduga. Namun saat ini aku pelan-pelan aku akan belajar berharap. Dan membiarkan harapanku dijawab dengan cara apapun; ia, tidak, dia, bukan dia, sekarang, nanti, atau jawaban lainnya. Ya, ini tentang jodoh. Aku sudah dikirimkan banyak “dia”. Menduga, menduga, dan menduga, itu yang kerap aku lakukan.

Seperti kataku tadi, aku akan aku selalu menikmati perasaan kasmaran yang dikirimkan Tuhan.Bahkan saat rasa itu berubah menjadi rasa sakit; karena rindu yang tak kunjung bisa kukendalikan.Dugaan adalah sumber rasa sakit yang kumaksud itu, rasa ngilu karena aku terlalu sering menduga. Aku terlalu sering menduga bahwa ia dekat. Padahal semua itu perlahan menjauh lagi. Ya, aku menduga. Padahal jalanku masih panjang, kenapa aku sudah menduga; memberi garis final atas pencarian//penantian, yang ternyata belum (seharusnya) usai.  

Saat ini aku sedang belajar berharap. Dan mengeja sebuah kalimat atas apa yang pernah, sedang dan akan terjadi;  “Mungkin rencana Tuhan,” dugaku.

DuniaKata.yo.sinta
15 Oktober 2014

“Dan kita tak selalu akan bersama, menikah, lalu berketurunan dengan orang  yang selalu berusaha hadir untuk kita. Atau tidak pula dengan orang yang selalu kita selipkan namanya dalam doa.Begitulah jodoh. Sebuah teka-teki yang kadang lebih kecut dari segelas lemonade”







Pages - Menu

Pages - Menu

Popular Posts

Blogger news

Blogger templates

 

Template by BloggerCandy.com