Pages

Rabu, 26 November 2014

Tentang Lagu Tidur dan Senyum Sinta





Seseorang pernah (secara tidak sengaja) menitip lagu tidur untukku. Waktu itu tiba-tiba ia memasangkan handsfree ketelingaku, aku sedikit terheran dengan lagu yang ia putar di ponsel pintarku kali ini. Sebuah lagu dari Vega Antares berjudul “Bukan Tuk Menghilang” itu jelas kontras dengan pilihan lagu yang biasanya ia putar. “Ini lagu tidurku” tuturnya.  
 
Karena kami memutarnya lewat aplikasi soundCloud-aplikasi pemutar musik secara online-dan ponsel canggihku tak secanggih yang diharapkan; beberapa kali lagu itu terputus. Tapi ia sangat nyiyir waktu itu. Ia ingin aku mendengarkan lagu itu hingga selesai. 

Ia tertidur. Aku memutar lagu itu berkali-kali. 

jika kamu merasa sendiri disana
dengarkan suara lirihku dikeheningan
mungkin kamu akan bisa terjaga
bertemankan mimpi-mimpi indah malam
peganglah janjiku saat kamu gelisah
yakinlah semuakan indah
semua ini kulakukan untuk kita
aku pergi bukan untuk menghilang

jangan pernah teteskan airmata
karna ku tak pantas menerimanya
cobalah terima keadaan ini
aku pergi bukan untuk menghilang

Sebagai sebuah lagu bergenre pop, aku cukup menikmati lagu itu. Aku menikmatinya, selayaknya orang yang baru dikenalkan pada hal baru, tanpa pikir panjang; jangankan berpikir maksudnya mengenalkan lagu itu padaku, menelaah liriknya saja waktu itu aku tidak. Tapi ya, hidup memang tidak bisa diprediksi. Tiba-tiba sesuatu terjadi. Aku dan dia tidak lagi bisa bertemu, bercerita banyak, atau hanya sekedar untuk bertukar lagu kesukaan seperti waktu itu dan beberapa waktu sebelumnya. Entahlah, rumit juga jika dijelaskan //seperti orang mabuk yang sedang dipukuli, hanya rasa sakit dan memar yang ada ketika ia sadar// tak tahu persis sebab perkara//. Sesuatu, lain hal, dan banyak hal lainnya (yang entah) telah membuat kami tidak lagi bertemu (sudah cukup lama).

Sejak kami sudah sangat sulit bertemu. Hampir tiap malam aku mendengarkan lagu itu. Ya, lagu tidur itu. Siapapun yang membaca, pasti akan paham bahwa ia orang yang penting dalam hidupku. Kalian pernah menemukan alasan dalam hidup. Ya, dia salah satu orang yang mengajarkanku dan memberikanku alasan untuk tetap berjalan dan melanjutkan hidup. Kurasa itu cukup untuk menggambarkan betapa penting ia dalam perjalananku. Kehilangan sosok yang penting dalam hidup tentunya tidaklah semudah menghirup udara dari rongga hidung. Tapi ya sudahlah, itulah hidup. Masih perlu menyatungan potongan-potongan kecil untuk menjadikannya kepingan puzzle terakhirmu. Tak ada yang tahu dimana dan pada siapa potongan-potongan kecil itu berserakan sebelum ia menjadi kepingan puzzle terakhir, dan melengkapi gambarmu.

Aku berpikir bahwa ia memang berisyarat sebelum ia pergi dari kehidupanku. Aku tidak menyebut ini sebagai sebuah rencana, seperti pembunuh yang sudah merencakan pembunuhan. Tapi aku menyebut ini isyarat. Aku percaya masing-masing kita punya kemampuan membaca “gerak” (apa yang dimau dan dibutuhkan tubuh kita). Percayalah tak ada yang kebetulan dan tanpa alasan dimuka bumi ini. Apapun yang terjadi, apapun yang kita lakukan adalah perintah yang sah dari pikiran dan hati kita dan tentunya ada campur tangan Tuhan didalamnya. Ya, waktu itu mungkin hati dan otaknya memerintahkannya untuk segera berisyarat padaku dengan mengenalkan lagu itu, karena ia telah mampu membaca “gerak”; tentang apa yang akan ia lakukan untuk hidupnya.

Tapi beberapa kejadian belakang dihidupku, membuatku berpikir keras tentang lagu tidur itu. Dia yang menitip lagu tidur itu, memang kini berjarak dari hidupku. Pergi. Tapi aku tak tahu persis, apa kepergiannya seperti lirik lagu tidur yang tak sengaja ia titipkan itu. Dan ia juga tidak pernah berjanji seperti yang ada pada lirik lagu itu. Tidak ada janji yang bisa kupegang saat aku gelisah, yang aku tahu ia pergi.

Tapi perkara kepergian, ini bukanlah hal pertama yang terjadi dalam hidupmu, mungkin begitupun dalam hidup kalian. Bukankah hidup perkata hidup-mati, datang-pergi, ada-musnah. Jika dia mungkin sudah berisyarat untuk meninggalkanku sendiri, tapi ada banyak yang pergi tanpa aba-aba dan isyarat dalam hidupku. Ya, hidup kalian juga.

Dulu sempat waktu itu seseorang yang teramat penting dalam hidupku harus menghadapi kamar rumah sakit, selang oksigen, infus, jarum suntik, obat-obatan dan hal menakutkan lainnya yang mendekatkan ia pada kematian. Aku sempat berteriak lantang pada Tuhan, waktu itu kutulis sajak singkat dengan judul “Diam”. Namun isinya tidaklah sehening judul itu

AKU LELAH KEHILANGAN TUHAN !
YA !
AKU LELAH KEHILANGAN !

Parkiran Hitam, RS Yos Sudarso
15 November 2008

Aku sangat marah waktu itu. Aku sangat takut jika aku lagi-lagi akan kehilangan.

Satu peristiwa, dua peristiwa, peristiwa berikutnya, berikutnya, berikutnya, akhirnya membuatku mulai berpikir bijak tentang ‘kehilangan’ dan ‘kepergian’. Bukankah selama kita hidup kita akan menghadapi itu; ‘kepergian’ dan ‘kehilangan’. Bagaimana bisa menyebutnya datang, kalau tidak ada yang pergi. Bagaimana akan mendapatkan jika tidak kehilangan.

Tapi percayakah kalian, bahwa mereka yang pergi; mereka yang hilang dari kehidupanmu, tidak akan pernah benar-benar pergi dari kehidupanmu. Ya, aku paham makna lirik dari lagu tidur itu “aku pergi bukan untuk menghilang”. Tidak ada yang akan hilang dari kehidupanmu, meski ia pergi. Aku percaya ada do’a yang menyampaikan kerinduan seorang anak pada orangtuanya yang sudah tiada, rindu yang  akan membawanya pada nasehat-nasehat terdahulu sebagai bekal kehidupan hari depannya. Aku percaya ada getar yang disampikan angin pada sepasang kekasih yang sedang merindu namun tak bisa berkabar, yang masih akan membuat mereka percaya bahwa mereka masih saling menyayangi. Aku percaya ada tangis bisu yang disimpan di balik bantal oleh dua sahabat yang sangat ingin bertemu, namun terbatas ruang, dan itu akan mampu membuat mereka percaya bahwa mereka masih saling menopang. Aku percaya itu.

Ya, itu tandanya bahwa tidak ada yang benar-benar pergi dari hidupmu. Siapapun, seburuk apapun, sekelam apapun kenangan yang kau miliki bersama seseorang, ia masih ada dalam dirimu, tidak akan pernah hilang.

Seperti ia yang menitip lagu tidur itu. Aku masih percaya bahwa saat ini ia sangat dekat denganku. Ya, ia pasti mendengar saat aku berteriak kencang dalam hatiku bahwa aku rindu, seperti aku yang juga mendengar teriakan yang sama disana, meski kami saling bisu, tak bersuara. Tak apa, aku menerima kepergiannya meski ia tak sempat pamit padaku dihari terakhir kami bertemu. Bahkan ia curang. Aku masih sangat ingat hari itu. Bagaimana aku bisa marah padanya tentang pertemuan terakhir itu; ia malah tumben-tumbennya mengabulkan inginku dengan segera, membawakan rujak kesukaanku yang kuminta hari itu. Dengan bonus lagi, jus stoberi (juga kesukaanku), padahal aku tak memintanya. Bahkan ia mengizinkan aku menyoreti lengan kanannya dengan spidol, meski aku tahu persis ia tak suka gambar yang aku buat. Ya, ia curang. Ia sudah lebih dulu membujukku untuk menerima kepergiannya hari itu.

Dan entah televisi juga memiliki kemampuan membaca gerak, dan berisyarat. Secara tiba-tiba aku dikenalkan pada sebuah lagu yang waktu itu secara tidak sengaja menjadi soundtrack sebuah film (yang tidak aku tonton). Tiba-tiba telingaku seperti diseret. Aku yang sedang membaca sebuah buku di teras depan, tiba-tiba masuk ke ruang tengah, mengambil remote, dan menggonta-ganti tayangan. Jariku terhenti seketika mendengar lagu itu, bukan karena adegan romantis yang sedang ditawarkan film yang memang tidak kutonton itu. Dengan menghafal beberapa penggalan liriknya, aku langsung mengadu pada Google untuk mendapatkan judul dan penyanyi dari lagu yang kudengar. 

hari ini begitu indah, ku langkahkan kakiku
dan angin pun menanya kabarmu
mengapa kau tak di sampingku
dan aku tersenyum, mereka tertipu
ku katakan bahwa kau kan menyusulku

dan malam pun bertanya kabarmu
yang tak ada di sampingku
karena mereka pun merasakan
hehilangan cahayamu
dan aku tersenyum, mereka tertipu
ku katakan bahwa kau kan menyusulku

Ya, judulnya “Aku Tersenyum” dibawakan oleh Migi Parahita. Lagu dan penyanyi yang sama sekali tidak aku kenal sebelumnya. Tapi sejak hari itu, ini lagu tidur berikutnya yang kerap mengantarkanku pada tidur panjang tanpa mimpi. Lagu ini mengajarkan aku cara tersenyum, mengajarkan aku cara bijak berikutnya untuk memahami “kepergian” dan “kehilangan”. Meski aku percaya bahwa apa yang pergi, tidak pernah benar-benar pergi dan hilang dari kehidupanku, tapi sebagai manusia aku juga harus tahu dan bersiap; bahwa tidak semua yang pergi bisa kembali, menyusulku pada kehidupan berikutnya.

DuniaKata.yo.sinta
di penghujung November 2014

*Siapapun mereka; orangtua, saudara, teman, sahabat, mantan pacar, kekasih, bahkan musuh sekaligus. Percayalah, mereka tidak akan pernah benar-benar pergi dari kehidupanmu. Mereka pergi bukan untuk menghilang.



Minggu, 09 November 2014

Dik, Hati itu Menyimpan Banyak Rahasia



Hidup tidak akan jalan di tempat. Ia akan mengantarkan kita pada banyak proses.
Proses akan menjanjikanmu kegagalan seperti ia menjanjikan kesuksesan,
menjanjikan kesedihan seperti ia menjanjikan kebahagiaan,
dan menjanjikan kekecewaan seperti ia menjanjikan kepuasan.

Ya, kekecewaan. Mungkin tak satupun manusia di muka bumi ini yang tidak pernah kecewa. Entah kapan, Entah karena apa, entah kerena siapa, yang jelas kecewa bukanlah hal yang menyenangkan. Bukan hal yang ditunggu di saat pagi di awal hari, bukan yang ditunggu di hari senin di awal minggu, bukan hal yang ditunggu di tanggal 1 januari di awal tahun.
Ya, kekecewaaan adalah hal yang kerap mencabik-cabik hari,
memporak porandakan hati, dan merusak kerja otak secara pasti.

Ini kali berikutnya ia mengeluh tentang harinya yang tak berjalan baik. Dia seseorang yang sudah aku anggap Adik (meski di darahku dan darahnya tak mengalir darah dari Ibu dan Bapak yang sama). Namun kali ini ada kegelisah yang berbeda nampaknya, harinya sedang benar-benar garang tampaknya. Tidak sekedar pesan pendek, tidak sekedar chat di ponsel pintar atau akun pribadi. Bahkan ia tak berani bersuara, tiga surat ia kirimkan, tentu di zaman secanggih ini tak perlu berkirim surat lewat pos; kecuali ingin menikmati sensasinya atau memang sedang diribetkan dengan proses administrasi.

Gelisahnya adalah rahasia kami. Jawabanku juga rahasia kami. Ssssssst, kami berdua sudah berjanji, bahwa kita akan punya rahasia baru; tentang gelisahnya kali  ini. Kepada yang dikenal atau tidak dikenal, kami sudah berjanji bahwa ini akan jadi rahasia. Tiga lembar surat yang ia kirimkan dalam waktu yang berbeda, aku balas dengan tujuh lembar surat yang kukirim pada suatu malam, setelah ia menunggu lebih kurang seminggu untukku bisa menelaah terang tentang gelisahnya, dan bersiap dalam waktu yang cukup lama agar aku tahu cara yang tepat menakhlukan sendunya.

Aku kirimkan surat itu. Lebih kurang 15 menit ia hening tak berkabar. Lalu kemudian kalimat “secepatnya aku akan membalas suratmu, kak. Rinduku terobati, tanyaku berjawab,” masuk ke chat salah satu akun pribadiku. Kalimat itu membuatku berpikir ternyata kata-kataku cukup ampuh untuk membuatnya memahami arti kekecewaan. Aku rasa kata-kataku mampu membuat langkah diamnya beranjak dari rasa sakit yang sedang mengamuk di dalam hatinya. Maka aku putuskan untuk menulis tulisan ini; agar kami tetap punya rahasia, namun aku tetap punya cara berbagi agar dunia tahu, ya, tentang rahasia yang disimpan setiap kata.
***

Dik, hati itu menyimpan banyak rahasia. Aku paham benar bagaimana cara hati menjaga satu persatu rahasia yang kita titipkan padanya. Seberapun kita berkata bahwa kita baik-baik saja, apa yang disimpan hati akan tetap sama. Seberapun kita berkata bahwa kita ikhlas menerima/melepaskan/memaafkan, hati akan tetap penyimpan rahasia bahwa ada rasa sakit disana. Ya Dik, hati memang lihai menyimpan banyak rahasia. Termasuk untuk perkata ikhlasmu kali itu. Seberapapun pada waktu sebelumnya, kau berkata kau ikhlas menerima hal buruk/hal mengecewakan yang terjadi pada dirimu.Tapi akhirnya, hari ini (hari depan-dari harimu waktu lampau itu) kembali menguapkan kejujuran dari dalam hatimu, menerjemahkan rahasia yang masih saja kau simpan sejak hari itu kau berkata kau kecewa. 

Waktu itu, kau mencoba menerima apa yang terjadi. Setelah berpikir keras, merintih sekencang-kencangnya, mengadu dengan berapi-api padaku, kau akhirnya tetap berjalan ke depan, melanjutkan langkahmu, dan kau berhasil beranjak dari kekecewaan. Tapi ternyata sebagai kakak, aku lupa memberikan pelajaran ini padamu. Tentang rahasia hati. Tentang hati yang setia pada rahasia; menjaga apa hal pertama yang kau titipkan padanya. Seperti kau sudah jatuh cinta pada seseorang. Kau menyodorkan hal pertama padanya//pada hati; bahwa kau sayang; lalu jatuh cinta padanya, kau cinta dia. Kalaupun berikutnya hal buruk terjadi, lantas   kau mengenalkan pada rasa sakit, kau mulai pelan-pelan mengenalkan rasa benci, dendam, amarah padanya. Tapi hati akan setia pada rahasia yang sudah kau titipkan padanya. Seberapapun kau belajar membencinya, menjauh darinya, tak ingin melihatnya lagi, tapi hatimu akan tetap setia pada rahasia yang sudah kau perkenalkan pertama kali padanya; kau tetap akan mencintainya. Entah kau harus, mencintainya dalam rasa benci yang menjadi-jadi.

Hari itu ketika kau berkata, bahwa kau kecewa, aku tahu persis bahwa rasa ini juga yang sudah kau titipkan pada hatimu. Meski hari itu kau bangkit dari rasa kecewamu, tapi seperti yang kukatakan tadi, bahwa hati teramat pandai menyimpan rahasia Dik. Hari ini kau gelisah lagi, ia kambuh lagi, rasa kecewa itu kembali mengamuk. Menelan semua kata “tak apa-apa”, “aku bisa”, “aku menerimanya” dan kata-kata berisi amunisi semangat lainnya yang sempat terlontar hari itu. Hatimu tak bisa mengubah rahasia; bahwa kau tak bisa menerima hal buruk yang sedang dihadapkan orang lain padamu.

Ya, aku memang lelai hari itu aku lupa memberikanmu pelajaran tentang ini. Tentang hati, rahasia, serta penawar yang dimiliki hati. Tapi tak ada kata terlambat untuk aku yang menyayangimu. Aku bersyukur, kau masih datang dan mempercayakan gelisah itu menjadi bagian dari gelisahku juga, hingga hari ini aku bisa melanjutkan pelajaran ini untukmu, Dik.

Dik, aku ingin kau bersyukur. Bahwa hari ini kau sudah ditampar, kadang kita perlu merasakan rasa sakit agar kita akan bergegas mencari rasa “manis” untuk penyembuh, dan rasa manis itu (kebahagiaan) akan bisa kau pahami secara utuh, karena kau sudah tahu rasa sakit. Namun bersyukur, memang tak semudah  yang aku menuliskannya di atas. Ada proses belajar untuk ikhlas, atau kita sederhanakan; belajar menerima. Mengamini, bahwa tamparan itu karena kesalahan kita, bukan perkara rasa sakit hati/ kebencian/ dendam/ketidaksukaan/orang lain atau hal buruk lainnya.

Kau pasti akan berkata, bagaimana cara menerima (menikmati) tamparan? Karena itu adalah hal buruk yang menyakitkan, bahkan memalukan. Tapi seperti yang aku bilang padamu tadi, bahwa lagi-lagi hati sangat dekat dengan rahasia Dik, hati menyimpan banyak rahasia. Termasuk untuk hal yang satu itu, ada zat dalam hati yang akan menjadi “penawar/penyejuk” untuk tamparan itu. Jika kau bertanya dimana zat itu Kak ? Kau yang tahu letaknya, hati itu milikmu, kau yang hafal pada ruang mana kau menyimpan zat itu. Ruangmu bukan ruangku atau siapa saja, begitu juga sebaliknya, bisa saja kita menaruhnya pada posisi yang berbeda. Bukankah manusia istimewa karena gumpalan yang kita sebut “hati” itu Dik. Maka tidak salahlah hati akan menyimpan banyak rahasia-termasuk hal baik itu. Aku percaya, kau bisa menemukannya.

Aku sedang berusaha keras memahami gelisahmu. Aku sangat paham kau kecewa. Persis seperti siswa yang tidak mendapat rangking di kelas, padahal ia merasa sudah mengerjakan latihan, PR, dan ujian dengan sangat baik. Persis seperti calon mahasiswa yang tidak lulus SPMB, padahal ia sudah latihan banyak soal, ikut bimbel dengan sangat baik. Persis seperti laki-laki yang ditolak cintanya, padahal ia sudah mengirimkan banyak puisi dan kembang, serta memberikan perhatian dengan baik untuk gadis yang ditaksirnya. (semoga aku menerjemahkan secara tepat kekecewaanmu). Kau masih gagal padahal kau sudah merasa memberikan semua hal baik, dan berusaha dengan baik. Namun ada hal yang lagi harus kamu pahami dek, baik belum tentu benar dan tepat. Apa bunga yang diberikan lelaki pada perempuan yang ia taksir itu akan membuatnya tersenyum ? Kalau ternyata si perempuan alergi bunga. 

Lantas apa ukuran benar dan tepat. Entahlah,ia punya takaran ganjil yang masih sukar kita hitung Dik. Tapi sebagai manusia kau punya akal dan pikiran. Jika jalan yang kau tumpuh, menghadapkanmu pada jalan buntu, maka aku yakin, naluri manusiamu akan membuatnya mencari jalan lain, berbalik, merubah arah, dan berusaha menemukan jalan yang akan membawamu pada tempat yang kau sebut; sampai. Begitupun kali ini, jika kau masih gagal pada proses ini, izinkan proses berikunya mengantarkanmu pada kesuksesan. Seperti yang sering aku katakana; hidup tidak akan jalan di tempat. Ia akan mengantarkan kita pada banyak proses. Proses akan menjanjikanmu kegagalan seperti ia menjanjikan kesuksesan, menjanjikan kesedihan seperti ia menjanjikan kebahagiaan, dan menjanjikan kekecewaan seperti ia menjanjikan kepuasan. Jika proses ini menawarkan kekecewaan padamu, bukankah pada proses berikutnya (kau sedang) dihadapkan pada janjinya untuk menawarkan kepuasan. Ya, kecuali kau sedang memilih untuk tidak melanjutkan proses berikutnya, dan memilih berdiam pada kekecewaan yang sudah dihadiahkan  dari prosesmu yang berjalan tidak benar dan tidak tepat  (meski kadang kau sudah mencoba menjalaninya dengan baik).

Selamat melanjutkan prosesmu Dik. Jika kau bertanya apa yang harus kau lakukan, aku pastikan aku tak akan menjawabnya. Karena aku percaya bahwa kau sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang tahu cara melawan amukan badai. Keberadaanku bersamamu, dengan tangan kita yang saling menggenggam, cukup memberikan rasa hangat untuk melawan rasa dingin, dan meyakinkanmu bahwa kau tidak sendiri saat melawan amukan badai ini.

*tulisan ini merupakan bentuk lain dari surat yang kutulis untuk adikku itu. Semua masalah tidak diutarakan secara verbal dalam tulisan ini, sangat berbeda dengan surat asli yang dikirim. Ini hanya bagian dari caraku berbagi kata-kata pada dunia kecilku. Sssstt, kami tetap punya rahasia yang tidak akan kalian tahu.

DuniaKata.yo.sinta
November 2014

 


Tidak Ada Kata Tersesat di Busway



Banyak yang tak paham, bagaimana perkara yang satu ini bisa terjadi padaku. Berkali-kali mereka bertanya, lalu kebingungan, bertanya lagi, dan kembali pada kebingungan yang sama. Ya, jangankan kalian, aku juga tak paham bagaimana kebodohan ini bisa bersarang di otakku, bahkan dalam waktu yang cukup lama (sampai hari ini). 

Saat waktu mengantarkanku menjadi gadis remaja, yang idealnya sedang menuju kemandirian; bangun sendiri, mandi sendiri, makan sendiri, berkamar sendiri, berjalan sendiri. Saat aku mulai mengenakan seragam putih-biru, aku tersadar akan satu hal. Serentetan agenda sebagai anak remaja, yang tak lagi hanya perkara sekolah dan les saja seperti ketika masih berseragam putih-merah mengenalkanku pada banyak jalan, banyak tempat, banyak lokasi, banyak angkutan umum, banyak lampu merah. Waktu itu jugalah aku juga mulai berkenalan dengan ketakutan ini. 

Ketakutan pada jalan, ketakutan tentang kiri dan kanan, ketakutan tentang berbelok atau lurus, ketakutan akan tersesat. Ya, aku bodoh menghafal jalan. Otakku tak punya kemampuan yang baik untuk merekam memori tentang jalan. Sangat buruk. Aku hanya berani melewati rute biasa yang sudah didektekan secara tepat oleh Bunda; sekolah, gelanggang olahraga, tempat les, rumah teman dekat, dan beberapa tempat lainnya yang rutin dikunjungi. Hanya ke tempat-tempat itu aku bisa memastikan aku akan sampai dengan baik. Namun jangan harap aku akan mampu mendiktekan dengan baik rute tersebut, lidahku akan mendadak kaku kalau ada yang bertanya. Jangan harap aku bisa mengarahkan dengan baik; keluar gang, setelah itu lurus, nah ketemu pertigaan nanti belok kanan, kalau sudah ketemu pangkalan ojek belok kiri, nanti ada warung, nah dari warung itu lurus saja, hingga bertemu mesjid, tiga rumah setelah mesjid, itu dia. Percayalah !!! Aku akan pastikan siapa yang mengikuti petunjuk arah itu akan tersesat. Entahlah, kiri bisa menjadi kanan di memoriku, semua akan blur seketika dalam ingatanku, meski sudah aku tempuh.

Semua memang berjalan buruk untuk yang satu itu, banyak yang tak paham, tak sabar dan tak bisa menjadi pendamping yang baik untuk lemahku yang satu itu. Bundalah orang yang paling sabar menjadi petunjuk arah bagi kebodohanku itu. Ia akan memastikan ponselnya terisi daya yang cukup; dan menyala saat aku akan bepergian sendiri, kemanapun. Ia yang tahu cara yang tepat menjelaskan,mendiktekan, memastikan berulang-ulang tentang rute yang akan kutempuh, nyaris tak pernah nada kesal yang akan memancing airmataku berlinang (seperti yang sempat dilakukan mereka yang tak paham), meski aku harus kembali bertanya lagi, tentang rute yang mungkin baru satu menit yang lalu ia jelaskan. 

Ia akan dengan sangat baik menjelaskan dimana aku harus menunggu angkutan umum, dimana aku turun, lengkap dengan bangunan yang bisa jadi klu/tanda, kearah mana aku harus berjalan setelah turun angkutan, seberapa jauh, ya dialah google maps versi terbaik. 

Aku punya satu rahasia, yang sebentar lagi tidak akan jadi rahasia lagi. Saat aku akan segera menjadi mahasiswa, aku masih diantar Bunda, seperti hari pertama aku masuk TK atau SD; Bunda bersamaku. Hari-hari saat pendaftaran ulang sebelum proses ospek dan perkuliahan dimulai, aku seperti anak kecil yang masih dipapah orangtuanya. Bunda ada di sampingku saat aku duduk di pertama kali di angkutan umum menuju kampus itu, Bunda ada di sampingku saat aku pertama kali naik bus kampus, Bunda ada saat aku mengisi form daftar ulang, mengambil jaket almamater, dan proses lainnya. Ya, ia tahu, aku butuh itu. Otomatif saja, ia tahu apa yang aku butuhkan ketika ia tahu anaknya akan berkuliah di Universitas Andalas, kampus yang sempat mendapat penghargaan sebagai kampus termegah di Asia, yang luasnya cukup membuat nafasku terpenggal. Bahkan di tahun-tahun satu dan dua perkuliahan, aku masih terbata. Ruang kuliah yang tidak menetap di satu ruang di gedung-gedung yang berjarak antara satu sama lainnya juga sempat jadi masalah.
“Tak ada yang tak bisa”. Ya, kata itu sempat aku percaya, beragam cara sudah aku coba, kalau-kalau saja bisa jadi solusi. Mulai dari mengingat secara keras, lalu mencatat di buku kecil yang kubawa kemana-mana, sampai memotret bangunan/pohon/plang/ persimpangan yang akan memudahkanku dalam berjalan, meminta ayah yang pintar menggambar mengajari logika jalan lewat gambar, tetap saja menelpon bunda adalah solusi yang tepat saat kebingungan. 

Lalu apa yang terjadi saat ini ???


Ada yang berkenan membandingkan Padang (kota asalku) dengan Jakarta (kota yang kini aku tempati). Tentu semua menjadi akan semakin sulit di kota sebesar ini. Bunda juga tidak akan mampu jadi google maps versi terbaik untuk kota ini, meski ia tidak akan pernah berhenti menjadi “google” terbaikku . Status perantau membuatku harus berjalan kesana kemari, berkunjung ke jobfair, menjalani interview, serangkaian tes, beragam keperluan sebagai pendatang baru. Ayah dan adikku yang lebih dulu bekerja disini, juga tak akan mampu siaga 24 jam menjadi pendampingku. Untunglah, pekerjaan awal sebagai reporter televise cukup memudahkan. Keputusan untuk kos dekat kantor serta mobilitas kerjaan sehari-harinya yang difasilitasi mobil kantor lengkap dengan driver, memudahkan untuk proses awal. Aku tak perlu cemas dan ketakutan menuju lokasi peliputan. Begitupun berikutnya, kos dekat kantor hampir jadi alternatif yang pas untuk masalahku yang satu ini. 

Namun hidup bukan perkara kerjaan dan kantor saja bukan. Ada banyak tempat yang harus kukunjungi selain kantor. Ada banyak tempat yang ingin kujelajah. Aplikasi google maps di handphone canggih bukan mempermudah, tapi makin membuat kepalaku sakit harus mengaplikasikan petunjuk di gambar dengan fakta yang kudapati di jalananan. Keberanian bertanya pada orang-orang yang kutemui juga menjadi solusi buruk yang sempat membuatku tersesat beberapa kali. Ya, hingga akhirnya aku memutuskan menjadi pengguna busway yang setia. 

Busway menjadi satu-satu kendaaraan yang aku percaya akan mengantarkanku dengan cara yang benar. Tidak ada kata tersesat di busway.  Jika kau melewati shelter busway yang harusnya jadi tujuanmu, tenang, ada shelter busway berikutnya tempat turun, yang mungkin saja bisa mengantarkanmu ke shelter busway yang terlewat itu. Kalaupun kau harus menempuh jarak panjang yang harusnya bisa ditempuh dengan jarak yang lebih singkat, kau tetap akan sampai. Ya, tidak ada kata tersesat di busway. 

Busway juga mengajarkanku banyak hal. Tentang berdesakan pagi hari, tentang ketabahan melewati jembatan penyembrangan kala transit, tentang peluh manusia saat petang, dan banyak hal lainnya. Namun belakangan aku memikirkan satu hal tentang busway. Ia seperti hidup. Jika kau naik busway dari salah satu shelter, kau bisa saja akan diantarkan pada banyak tujuan, ia akan melewati banyak tempat, dan akan berhenti di banyak tempat, jika sampai maka turunlah, carilah jembatan yang akan mengantarkanmu keluar dari shelter busway itu lalu mendekatlah ke lokasi tujuanmu. Atau turunlah untuk transit dan mencari shelter berikutnya, menunggu busway berikutnya yang akan mengantarkanmu pada tujuanmu. Dan jika kau tidak tahu tujuan maka ya nikmatilah wisata busway yang akan mengatarkanmu pada banyak tempat yang bukan tujuanmu. 

Jika kau ingin sampai dengan segera, maka kau harus tahu tujuanmu, dimana kau harus berhenti, atau kau harus transit. Tidak ada kata tersesat di busway. Seperti hidup. Kau tak akan tersesat dalam hidup, karena toh pada waktunya hidup ini nantinya akan menuju satu tempat dan sampai. Namun jangan salahkan jika suatu hari waktu (memaksa) mengantarkanmu pada satu tempat (sampai) yang belum tentu menjadi tujuanmu, karena kau tak tahu tujuan saat waktu itu belum datang. Sebelum petugas busway memintamu turun pada pemberhentian terakhir, tentukanlah tujuanmu,meski tak ada kata tersesat di busway. Aku jadi paham apa makna dari perkataan yang sangat sering diucapkan Bunda bahwa “hidup harus fokus dan tahu tujuan”. 

Ya, saat ini aku mulai menikmati hal yang awalnya kusebut kebodohan ini. Aku semakin menikmati waktu-waktu berjalan sendiri. Ketakutanku akan jalan memang kontras dengan hobiku berjalan sendirian. Aku bukan ingin berkata bahwa hang out bersama teman-teman bukan hal mengasikkan, namun terkadang duduk di cafĂ© sendirian sembari membaca buku atau membuka laptop dan menulis sesuatu, duduk di taman sembari menutup kuping dengan handsfree bervolume maksimal, atau mengunjungi toko buku sendiri, mengunjungi banyak tempat baru sendirian; memberikan kenikmatan berlipat dibanding suasana heboh saat bersama oranglain. Aku memang berkali-kali harus berdebar saat aku memulai perjalanan baru sendirian. Namun tentunya itu terbayar, ketika aku berhasil sampai dengan aman ketempat yang aku lingkari di otak kecilku. Ada lega saat aku tahu di shelter busway mana aku harus berhenti atau transit. Saat sampai  di tempat yang aku tuju, ada lega yang lebih kuat dibanding debar ketakutan saat memulai perjalanan. Aku mulai percaya, bahwa aku tak akan tersesat, yang aku lakukan aku hanya harus tahu aku mau kemana, dimana berhenti atau hanya sekedar transit. Dan aku juga mulai percaya, ada banyak tanda di jalanan yang bisa membantuku untuk sampai di tempat tujuanku. Aku mungkin tak akan mempu memusnahkan lemahnya kemampuanku untuk menghafal jalan, tapi aku tahu satu hal aku bisa menjinakkannya. ***

DuniaKata.yo.sinta
November 2014



Pages - Menu

Pages - Menu

Popular Posts

Blogger news

Blogger templates

 

Template by BloggerCandy.com