Banyak yang
tak paham, bagaimana perkara yang satu ini bisa terjadi padaku. Berkali-kali
mereka bertanya, lalu kebingungan, bertanya lagi, dan kembali pada kebingungan
yang sama. Ya, jangankan kalian, aku juga tak paham bagaimana kebodohan ini
bisa bersarang di otakku, bahkan dalam waktu yang cukup lama (sampai hari ini).
Saat waktu
mengantarkanku menjadi gadis remaja, yang idealnya sedang menuju kemandirian; bangun
sendiri, mandi sendiri, makan sendiri, berkamar sendiri, berjalan sendiri. Saat
aku mulai mengenakan seragam putih-biru, aku tersadar akan satu hal. Serentetan
agenda sebagai anak remaja, yang tak lagi hanya perkara sekolah dan les saja
seperti ketika masih berseragam putih-merah mengenalkanku pada banyak jalan,
banyak tempat, banyak lokasi, banyak angkutan umum, banyak lampu merah. Waktu
itu jugalah aku juga mulai berkenalan dengan ketakutan ini.
Ketakutan
pada jalan, ketakutan tentang kiri dan kanan, ketakutan tentang berbelok atau
lurus, ketakutan akan tersesat. Ya, aku bodoh menghafal jalan. Otakku tak punya
kemampuan yang baik untuk merekam memori tentang jalan. Sangat buruk. Aku hanya
berani melewati rute biasa yang sudah didektekan secara tepat oleh Bunda;
sekolah, gelanggang olahraga, tempat les, rumah teman dekat, dan beberapa
tempat lainnya yang rutin dikunjungi. Hanya ke tempat-tempat itu aku bisa
memastikan aku akan sampai dengan baik. Namun jangan harap aku akan mampu
mendiktekan dengan baik rute tersebut, lidahku akan mendadak kaku kalau ada
yang bertanya. Jangan harap aku bisa mengarahkan dengan baik; keluar gang,
setelah itu lurus, nah ketemu pertigaan nanti belok kanan, kalau sudah ketemu
pangkalan ojek belok kiri, nanti ada warung, nah dari warung itu lurus saja, hingga
bertemu mesjid, tiga rumah setelah mesjid, itu dia. Percayalah !!! Aku akan
pastikan siapa yang mengikuti petunjuk arah itu akan tersesat. Entahlah, kiri
bisa menjadi kanan di memoriku, semua akan blur seketika dalam ingatanku, meski
sudah aku tempuh.
Semua memang
berjalan buruk untuk yang satu itu, banyak yang tak paham, tak sabar dan tak
bisa menjadi pendamping yang baik untuk lemahku yang satu itu. Bundalah orang
yang paling sabar menjadi petunjuk arah bagi kebodohanku itu. Ia akan
memastikan ponselnya terisi daya yang cukup; dan menyala saat aku akan bepergian
sendiri, kemanapun. Ia yang tahu cara yang tepat menjelaskan,mendiktekan,
memastikan berulang-ulang tentang rute yang akan kutempuh, nyaris tak pernah
nada kesal yang akan memancing airmataku berlinang (seperti yang sempat
dilakukan mereka yang tak paham), meski aku harus kembali bertanya lagi,
tentang rute yang mungkin baru satu menit yang lalu ia jelaskan.
Ia akan
dengan sangat baik menjelaskan dimana aku harus menunggu angkutan umum, dimana
aku turun, lengkap dengan bangunan yang bisa jadi klu/tanda, kearah mana aku
harus berjalan setelah turun angkutan, seberapa jauh, ya dialah google maps
versi terbaik.
Aku punya
satu rahasia, yang sebentar lagi tidak akan jadi rahasia lagi. Saat aku akan
segera menjadi mahasiswa, aku masih diantar Bunda, seperti hari pertama aku
masuk TK atau SD; Bunda bersamaku. Hari-hari saat pendaftaran ulang sebelum
proses ospek dan perkuliahan dimulai, aku seperti anak kecil yang masih dipapah
orangtuanya. Bunda ada di sampingku saat aku duduk di pertama kali di angkutan
umum menuju kampus itu, Bunda ada di sampingku saat aku pertama kali naik bus
kampus, Bunda ada saat aku mengisi form daftar ulang, mengambil jaket
almamater, dan proses lainnya. Ya, ia tahu, aku butuh itu. Otomatif saja, ia
tahu apa yang aku butuhkan ketika ia tahu anaknya akan berkuliah di Universitas
Andalas, kampus yang sempat mendapat penghargaan sebagai kampus termegah di Asia,
yang luasnya cukup membuat nafasku terpenggal. Bahkan di tahun-tahun satu dan
dua perkuliahan, aku masih terbata. Ruang kuliah yang tidak menetap di satu
ruang di gedung-gedung yang berjarak antara satu sama lainnya juga sempat jadi
masalah.
“Tak ada
yang tak bisa”. Ya, kata itu sempat aku percaya, beragam cara sudah aku coba,
kalau-kalau saja bisa jadi solusi. Mulai dari mengingat secara keras, lalu
mencatat di buku kecil yang kubawa kemana-mana, sampai memotret bangunan/pohon/plang/
persimpangan yang akan memudahkanku dalam berjalan, meminta ayah yang pintar
menggambar mengajari logika jalan lewat gambar, tetap saja menelpon bunda
adalah solusi yang tepat saat kebingungan.
Lalu apa
yang terjadi saat ini ???
Ada yang
berkenan membandingkan Padang (kota asalku) dengan Jakarta (kota yang kini aku
tempati). Tentu semua menjadi akan semakin sulit di kota sebesar ini. Bunda
juga tidak akan mampu jadi google maps versi terbaik untuk kota ini, meski ia
tidak akan pernah berhenti menjadi “google” terbaikku . Status perantau
membuatku harus berjalan kesana kemari, berkunjung ke jobfair, menjalani
interview, serangkaian tes, beragam keperluan sebagai pendatang baru. Ayah dan
adikku yang lebih dulu bekerja disini, juga tak akan mampu siaga 24 jam menjadi
pendampingku. Untunglah, pekerjaan awal sebagai reporter televise cukup
memudahkan. Keputusan untuk kos dekat kantor serta mobilitas kerjaan
sehari-harinya yang difasilitasi mobil kantor lengkap dengan driver, memudahkan
untuk proses awal. Aku tak perlu cemas dan ketakutan menuju lokasi peliputan.
Begitupun berikutnya, kos dekat kantor hampir jadi alternatif yang pas untuk
masalahku yang satu ini.
Namun hidup
bukan perkara kerjaan dan kantor saja bukan. Ada banyak tempat yang harus
kukunjungi selain kantor. Ada banyak tempat yang ingin kujelajah. Aplikasi
google maps di handphone canggih bukan mempermudah, tapi makin membuat kepalaku
sakit harus mengaplikasikan petunjuk di gambar dengan fakta yang kudapati di
jalananan. Keberanian bertanya pada orang-orang yang kutemui juga menjadi
solusi buruk yang sempat membuatku tersesat beberapa kali. Ya, hingga akhirnya
aku memutuskan menjadi pengguna busway yang setia.
Busway
menjadi satu-satu kendaaraan yang aku percaya akan mengantarkanku dengan cara
yang benar. Tidak ada kata tersesat di busway.
Jika kau melewati shelter busway yang harusnya jadi tujuanmu, tenang,
ada shelter busway berikutnya tempat turun, yang mungkin saja bisa
mengantarkanmu ke shelter busway yang terlewat itu. Kalaupun kau harus menempuh
jarak panjang yang harusnya bisa ditempuh dengan jarak yang lebih singkat, kau
tetap akan sampai. Ya, tidak ada kata tersesat di busway.
Busway juga
mengajarkanku banyak hal. Tentang berdesakan pagi hari, tentang ketabahan
melewati jembatan penyembrangan kala transit, tentang peluh manusia saat
petang, dan banyak hal lainnya. Namun belakangan aku memikirkan satu hal
tentang busway. Ia seperti hidup. Jika kau naik busway dari salah satu shelter,
kau bisa saja akan diantarkan pada banyak tujuan, ia akan melewati banyak
tempat, dan akan berhenti di banyak tempat, jika sampai maka turunlah, carilah
jembatan yang akan mengantarkanmu keluar dari shelter busway itu lalu mendekatlah
ke lokasi tujuanmu. Atau turunlah untuk transit dan mencari shelter berikutnya,
menunggu busway berikutnya yang akan mengantarkanmu pada tujuanmu. Dan jika kau
tidak tahu tujuan maka ya nikmatilah wisata busway yang akan mengatarkanmu pada
banyak tempat yang bukan tujuanmu.
Jika kau
ingin sampai dengan segera, maka kau harus tahu tujuanmu, dimana kau harus
berhenti, atau kau harus transit. Tidak ada kata tersesat di busway. Seperti
hidup. Kau tak akan tersesat dalam hidup, karena toh pada waktunya hidup ini
nantinya akan menuju satu tempat dan sampai. Namun jangan salahkan jika suatu
hari waktu (memaksa) mengantarkanmu pada satu tempat (sampai) yang belum tentu
menjadi tujuanmu, karena kau tak tahu tujuan saat waktu itu belum datang.
Sebelum petugas busway memintamu turun pada pemberhentian terakhir, tentukanlah
tujuanmu,meski tak ada kata tersesat di busway. Aku jadi paham apa makna dari
perkataan yang sangat sering diucapkan Bunda bahwa “hidup harus fokus dan tahu
tujuan”.
Ya, saat ini
aku mulai menikmati hal yang awalnya kusebut kebodohan ini. Aku semakin
menikmati waktu-waktu berjalan sendiri. Ketakutanku akan jalan memang kontras
dengan hobiku berjalan sendirian. Aku bukan ingin berkata bahwa hang out bersama teman-teman bukan hal
mengasikkan, namun terkadang duduk di café sendirian sembari membaca buku atau
membuka laptop dan menulis sesuatu, duduk di taman sembari menutup kuping
dengan handsfree bervolume maksimal, atau mengunjungi toko buku sendiri,
mengunjungi banyak tempat baru sendirian; memberikan kenikmatan berlipat
dibanding suasana heboh saat bersama oranglain. Aku memang berkali-kali harus
berdebar saat aku memulai perjalanan baru sendirian. Namun tentunya itu terbayar,
ketika aku berhasil sampai dengan aman ketempat yang aku lingkari di otak
kecilku. Ada lega saat aku tahu di shelter busway mana aku harus berhenti atau
transit. Saat sampai di tempat yang aku
tuju, ada lega yang lebih kuat dibanding debar ketakutan saat memulai
perjalanan. Aku mulai percaya, bahwa aku tak akan tersesat, yang aku lakukan
aku hanya harus tahu aku mau kemana, dimana berhenti atau hanya sekedar
transit. Dan aku juga mulai percaya, ada banyak tanda di jalanan yang bisa
membantuku untuk sampai di tempat tujuanku. Aku mungkin tak akan mempu
memusnahkan lemahnya kemampuanku untuk menghafal jalan, tapi aku tahu satu hal
aku bisa menjinakkannya. ***
DuniaKata.yo.sinta
November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar