Pages

Senin, 05 Januari 2015

Tentang Jeda di Pergantian Tahun



Di pergantian tahun. 

Langit seolah menjadi satu tujuan akhir untuk banyak mata pada saat tahun menyudahi usianya. Puluhan, ratusan, dan ribuan kerlip yang panas dihujamkan manusia ke langit. Tapi ya begitulah langit, ialah hunian cahaya maha cahaya. Dengan mahanya ia menampung genangan kebahagiaan dibalik letupan yang berapi-api. Ya, langit kita sama pada penghujung tahun ini. Dimanapun aku, kamu, dia, mereka, saya, anda, dan kita berada, aku kira langit kita akan serasa. Kita memandang gelap yang sama. Namun samakah doa kita ? Entahlah. 

Tahun usai. Waktu menggaris dirinya pada hitungan dua belas. Melingkar tiga ratus enam puluh hari untuk berhenti. Memberi jeda untuk manusia mengukur langkah dalam kurun satu tahun. Meski hakikinya waktu itu tak berhenti karena hari masih setia pada hitungan yang sama yakni 24 jam yang merupakan hitungan pasti tentang pagi yang ditambah siang, sore, dan disudahi dengan malam, namun ada jeda yang sebenarnya disediakan pada batas henti di pergantiaan tahun. Ada jeda untuk mengenang, untuk mengukur, untuk mengevaluasi, untuk kembali menyusun. 

Ada jeda yang diam-diam bisa dinikmati saat melepaskan kembang api ke langit malam. Ada jeda yang diam-diam dihuni ketika berdoa pada saat jam dinding berdentang di angka 12; saat ia memberi tanda bahwa hari kembali dimulai dari hitungan nol. Ada jeda yang diam-diam menyelip diantara kemeriahan acara bakar-bakaran bersama orang-orang tersayang. 

Namun adapula jeda yang berlalu. Berlalu tanpa makna. Ditelan gemuruh langit karena letupan suara kembang api warna-warni yang menggaduh. Ada jeda yang berlalu dalam sesaknya kerumunan lautan manusia saat menikmati konser akhir tahun yang memekakkan telinga. Atau jeda yang dilindas kepanikan saat melawan kemacetan kota besar yang pongah. Ada jeda yang tak berhasil membuahkan ruang tenang; jeda yang hanya menyamarkan segala bentuk syukur dan kebahagiaan. Ada. 

Meski aku hanya punya tulisan ini sebagai suara berisik yang menggaduh di ruang sempitku di penghujung tahun ini, tapi aku tahu satu hal, Tuhan sudah berkenan mengantarkan aku jeda yang istimewa. Bukan jeda singkat saat tersintak bahwa tahun akan berganti. Bukan jeda singkat yang disadari karena melihat kalender bahwa ini tanggal 31 Desember. Ya, aku diberi jeda yang istimewa. Bukan sekedar jeda pendek seperti jam istirahat siang yang dipotong pula dengan waktu mengantri makanan. 

Aku diberi jeda panjang. Benar-benar seperti aku yang mematung, padahal aku masih bernafas di bumi yang masih berputar. Jeda yang membuatku membisu padahal detak jam dinding berisik itu menggodaku untuk berteriak. Aku tak melangkah, padahal mereka sekelilingku berlari kencang menuju segala penjuru yang entah. Aku seperti mati suri. Ya, aku berjeda, benar-benar berjeda dengan segala kewajaran sebagai manusia yang idealnya makin mendekat pada mimpinya. 

Jeda itu dikirim lebih dulu oleh sang pemilik nafas dari segala hunian jagad ini jauh sebelum logikaku tersadar bahwa tahun ini akan usai. Aku baru mengerti arti jeda panjang yang awalnya menyesakkan ini. Bagaimana tidak sesak, aku seperti dikepung kepulan asap hasil pembakaran rokok//sampah untuk paru-paruku//tapi aku masih dituntut untuk bernafas dengan baik. Perlahan aku dibuat mengerti, dan menjadi sangat mengerti pada saat aku akan melepas tahun ini, bahwa Tuhan memang sedang menghadiahkan jeda panjang untukku. Karena hitungan tahun yang baru menungguku yang berisik. Menungguku untuk mengusik banyak hal dari segala rencana. Tahun yang baru memerintahkan aku berlari kencang-sekencang-kencangnya,ampai jeda berikutnya kembali ia hadiahkan pada hidupku yang mungkin singkat. 

Bismillahirahmanirahim. Aku tinggalkan jeda ini. Aku kembali melangkah. 


DuniaKata.yo.sinta
di penghujung tahun 2014, di awal tahun 2015
23.00 di 2014-01.10 di 2015


Tuhan Merenggut Satu Tahun dan Menggantinya dengan Satu Bulan



Semua terjadi tiba-tiba. Tanpa aba-aba, tanpa sebab perkara yang bisa dinalar oleh logika. Entahlah. Tahunku mengamuk, mungkin kehendak Tuhanku. Semua tiba-tiba berubah arah,menyamarkan bentuk,memberi teka-teki,menutup ruang,menyediakan banyak kemungkinan. Dan nyaris membuatku setengah gila; berada pada saat hati mendominasi dan logika menyingkir-seperti beku. Tapi untunglah nyaris.

Ya, Tuhan sudah merenggut satu tahun milikku.

Memerintahkan aku untuk berpindah haluan,bergeser tempat berpijak,dan dihadapkan pada sesuatu yang berserakan;mengusutkan pikiran. Dan aku gamang. Seperti keluar dari ruang ber-AC lalu harus segera menyeringai karena teriknya panas matahari. Seperti harus melompat dari ketinggian dengan rasa takut yang menjadi-jadi. Dan aku melawan gamang itu.Aku melompat. Ya, aku melompat. Terjatuh pasti. Tapi siapa sangka kasur empuk menunggu tubuhku menghempas dengan baik di atasnya.

Dan Tuhan berkenan menggantinya. 

Harusnya aku tahu saat nafas masih bersamaku, sesuatu akan masih berjalan menuju banyak tempat, banyak waktu, banyak ruang.

Aku mengikhlaskan satu tahun itu. Dan aku menerima satu bulan ini dengan senang hati.

DuniaKata.yo.sinta
di bulan terakhir di tahun 2014



#merekayangsaiapanggilteman #bukantempatles #bukanplaygroup #katamerekapersahabatan



*saat tulisan ini dibuat ada tiga bocah yang sedang tak jauh dari dudukku dan bertingkah sesuka mereka,. Faqih di kananku, Evand dan Fadil di kiriku. Mereka duduk manis disamping meja laptop lesehan yang aku gunakan. Mereka mengeja kata demi kata yang kutulis. Ya, mereka melihat apa yang kutulis ini, termasuk saat aku mendeskripsikan keberadaan mereka yang saat ini yang juga sedang mengunyah biskuit keju. Ada Evand yang membacakan apa yang kutulis dengan nyaring, ya mungkin ini caranya menyeimbangi dua teman kecilku yang lain, menyeimbangi Fadil yang masih belum lancar membaca tulisan serapat ini, dan Faqih yang masih mengeja huruf demi huruf. Entah mengerti entah tidak mereka, tapi mereka tertawa, entah apa yang mereka tertawakan, mungkin karena nama mereka disebut dalam tulisan ini.  Ya, mereka yang saia panggil teman. Mereka sebagian dari mereka yang lain.

Faqih, Evan, Fadil, Obin, Daus, Fauzi, Alif, Agi, Abi, Nancy, Uli, Sifah, Naqia, Rafi, Paul, Rendi, Ali, Reza, Aji, dan beberapa nama lagi yang mungkin singgah-tapi luput dari ingatanku, karena mungkin sesekali hadir. Ya, nama-nama itulah yang sering kueja satu bulan belakangan. Teman bermain, teman belajar, teman bertengkar, teman membaca, teman menulis, teman menghitung, teman tertawa. Teman hidup. 

Berawal dari perpindahan haluan, pergeseran tempat berpijjak. Sesuatu yang terjadi tiba-tiba, membawaku ke tempat ini.Tempat yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan dan prediksi. Aku juga terheran, ada tempat sesurga ini di belahan bumi yang beriklim tropis. Ini surga kedua yang pernah aku kunjungi. Ya, ini kembali mengingatkanku pada Kamang. Kampung kecil di Sumatera Barat sana, yang kusebut kampung sudut. Kampung yang sempat kuhuni lebih kurang dua bulan ketika aku menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang menjadi bagian dari proses studi S1ku dua tahun yang lalu. Kampung yang jauh dari hingar bingar metropolitan, gemerlap kemewahan yang membuat perut mual. Kampung yang menyimpan udara segar, masyarakat yang ramah-tamah, sayur mayur segar yang siap petik, pohon-pohon besar, hewan ternak yang berisik tapi asyik, dan tentunya ada anak-anak yang riang berlari kesana kemari, dan tertawa tanpa batas di bawah hujan sambil menggiring bola di lapangan hijau. Dan ini seperti Kamang itu. Aku sedang berada di tempat mirip Kamang itu. Jika boleh kubilang, ini bukan bagian dari ibu kota yang pongah dan gersang.

Dan di tempat teduh ini mereka ada, aku kenal.

Kelincahan peliharaanku menjadi awal pertemanan kami. Sejak memutuskan untuk memelihara dua ekor hamster yang hari ini sudah bertambah jumlahnya dengan kehadiran satu ekor anak mereka, aku memang berkomitmen untuk membawa mereka kemanapun aku menetap. Mengusahakan mereka ikut, kalaupun aku harus bepergian lama dan jauh. Jadi sudah pasti mereka ikut bersamaku saat ini. Aku saja suka, apalagi mereka. Melihat hamsterku yang tidak akan diam-bergerak sesukanya-kesana kemari, bulu mereka yang halus saat dipegang, kandang warna-warni, ditambah ikan-ikan kecil peliharaan baruku; mereka melirik, mengintip, lalu akhirnya kupersilahkan masuk ke ruangku.Satu anak, dua anak, tiga anak, dan tiba-tiba ruang ini sesak.Dipenuhi belasan anak. Sesak yang bukan membuatku susah bernafas, tapi malah tersenyum.

Bermain hamster, memberi makan ikan, lalu bergeser pada kegiatan mencoret-coret kertas dengan gambar entah yang indah. Pada hari pertama tidak kuduga akan ada kunjungan manis berikutnya. Mereka makin sering bermain//singgah ke ruang sempitku ini. Liburan tiba,merekapun jadi alarmku pagi hari. Jangan harap aku akan bisa bangun kesiangan; saat memejamkan mata pada malam hari, aku akan sudah harus siap mendengar teriakan mereka di depan pintu, dan jika tak kunjung kujawab mereka akan menggedor pintu; seperti tetangga yang meminta tolong karena rumah mereka kebakaran.

Di hari libur ini, pagi adalah jadwal kami membereskan peliharaanku, yang sekarang juga menjadi peliharaan mereka. Ya, peliharaan mereka, 18 ikan di aquariumku sudah bertambah jumlahnya,meski kularang, mereka kerap menyisihkan uang jajan mereka untuk membeli ikan.Sudah puluhan ikan yang juga sesak dalam aquarium kecil itu, seperti sesaknya ruangan ini, namun bahagia membuat ikan dan kami di ruang ini masih sangat bisa bernafas dengan baik.

Jika kandang hamster sudah bersih, air di aquarium sudah diganti dan ikan-ikan kembali melenggok gemulai, mereka mulai membongkar rak bukuku. Ya, sejak awal menerima mereka disini, aku sadar buku adalah satu benda pintar yang meski ada diantara kami. Hingga kini rak buku sederhanaku juga sudah dipenuhi dengan buku komik, majalah,buku bacaan yang seadanya, namun cukup layak untuk mereka baca. Kadang buku itu jadi panduan gambar mereka, sesekali aku berkenan membacakan, sesekali mereka membalik-balik halaman, melihat gambar saja, sesekali ada yang membaca dengan serius di pojok ruangan.

Lalu jika tumpukan buku sudah mulai dibongkar, dan satu persatu buku sudah berserakan, akan ada yang mulai berkata “Kak, minta kertas kak”. Hampir semua dari mereka suka menggambar, meski tidak semua berbakat, tapi aku tahu satu hal mereka semua suka mencoret, dan tentunya kertas adalah media yang pas untuk mereka coret. Saat sudah disibukkan dengan lembaran kertas mereka masing-masing, saat  itulah aku mensiasati waktu, menarik mereka bergantian untuk belajar pada mata pelajaran yang tidak mereka kuasai dengan baik, semisal Faqih murid kelas satu yang belum bisa membaca, Obin yang pintar matematika, namun lemah di Bahasa Inggris, atau Fadil siswa kelas tiga yang belum hafal perkalian, Daus yang masih kebingungan saat berhadapan dengan soal perkalian yang digabungkan dengan penambahan dan mengurangan, atau seperti Alif yang selalu salah saat tugas pemenggalan suku kata di mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Nanti saat semua sudah membosankan untuk mereka, mereka akan berlari ke luar ruang. Bermain benteng di lapangan samping rumah, atau kemanapun mereka ingin berlari. Ya, saat itulah semua kertas,buku, alat tuli, kurapikan kembali. Namun siap-siap, nanti saat mereka sudah tak ingin bersama teriknya matahari dan keringat asin beramoma letih, akan ada yang kembali mengetuk pintu, memanggil dan ruang ini kembali berantakan. Mungkin akan tiga sampai lima kali dalam sehari ruang ini disapu dan ditata ulang, ya; karena mereka anak-anak. 

Sesekali akan ada dari mereka yang berinisitif untuk main ke lapangan rumput yang cukup jauh dari sini, untuk bermain layangan, bola, benteng, atau permainan melelahkan lainnya yang pas dilakukan di lapangan rumput yang cukup luas itu. Dan “lupakan usia 24 tahunmu, Sinta”. Itulah instruksi yang pas untukku saat mereka sudah merengek dan sedikit memaksa agar aku ikut bermain dengan mereka di luar. 

Jangan kira nanti mereka akan pulang ke rumah, bisa saja mereka akan kembaali  akan memilih bersama dengan kertas-kertas di ruangku.Ya, wajar saja aku harus menyediakan puluhan lembaran kertas yang akan mereka penuhi dengan coretan tangan mereka. Atau mereka juga sudah mulai  menjelajah dunia lewat permainan monopoli, mulai memahami sedikit tentang jual beli, tentang ekonomi, tentang strategi, tentang investasi dan membaca posisi Negara yang mereka huni dimata dunia; hingga sempat suatu hari salah satu dari mereka berkata “ Kak, kenapa harga Indonesia murah sekali dibanding negara lain”. Aku gagu; pelajaran mana yang harus aku berikan untuk menjawab pertanyaan mereka; kewarganegaraan atau ekonomi. Aaaaah.

Banyak hal menarik lainnya yang mungkin terjadi dalam satu hari. Selalu ada keajaiban yang dikirim Tuhan untukku lewat mereka. Semua kegiatan baru akan berakhir pukul 9 malam. Salah satu atau dua dari mereka akan pulang karena sudah dijeput, selebihnya pulang saat aku meminta mereka untuk pulang, dan selebihnya masih membandel untuk tetap tidak ingin pulang; hingga akhirnya ruang ini baru kosong pada pukul 10. Hampir tak ada hari yang kulewatkan tanpa mereka satu bulan ini.

Ya aku bahagia.
Mereka membuat aku kembali tersenyum, tertawa, dan sesakali menggenangi mataku dengan tangis haru.
***

DuniaKata.yo.sinta
di bulan terakhir di tahun 2014


Pagi Senin yang Berbahagia



Tuhan memberikanku pagi Senin yang indah.
;ya, Tuhan sedang mengirimiku hal manis di awal Minggu

Bermula dari mata yang tidak terlalu susah diajak kompromi untuk bangun dan dibahasi air wudu. Di ruangku, sajadah kubentangkan. Meski ruang ini tidak terlalu besar, tapi aku selalu percaya untuk melakukan banyak hal di ruangan ini, termasuk untuk memenuhi kebutuhanku sebagai muslim. 

Membaca,menulis,berdandan,merangkai manik-manik, bersantai,kadang tidur, dan tentunya bermain dengan mereka; dua hamster yang kusapa dengan Umprit dan Umpret, kini juga sudah ada warga baru, namanya Untik. Ia satu-satunya anak yang selamat setelah dua kali Umprit melahirkan. Bukan hanya itu,saat ini juga sudah ada 18 ikan yang masih kecil-kecil. Jumlah itu setelah dua ikan mati karena aku salah memberikannya makan. Ya, dua kandang hamster dan satu aquarium ikan itu memang ada di ruangku. Jadi wajar saja, merekalah yang kujenguki setelah sholat. Masih dengan mukenah berwarna ungu yang aku kenakan, aku mengggeser posisi, mendekati kandang Umprit, Umpret dan Untik. Tersentak bukan main, kandang Umprit dan Umpret kosong. Betina dan jantanku itu berhasil membuka pintu kandangnya yang padahal sudah aku sematkan jepitan di pintu kandangnya, agar mereka tak bisa mengangkat dan menggeser pintu itu ke atas. Bergegas kelepas mukenah, berdiri dari dudukku, mencari ke sudut-sudut rak, meja, tumpukan buku  dan tas tempat mereka biasa bersembunyi saat sesekali kulepas. Mereka tak ada disana. Kubayangkan kemungkinan terburuk, ia keluar dari ruang itu. Kulihat pintu yang mungkin ia lewati, kuukur space ruang di bawah pintu itu. Aku panik, entah kenapa pintu rumah ini dibuat berjarak dari dasar lantai. Kubuka pintu itu, membayangkan ia berhasil melewati pintu demi pintu dan sampai pada ruang paling depan rumahku, yakni teras luar yang langsung berhadapan dengan jalan. Ah, Umprit...Umpret. 

10 menit berlalu, semua sudut ruangku sudah kubuat berantakan karena kepanikanku. Aku juga sudah cukup putus asa tak menemukannya di teras depan rumah. Ah, kenapa aku tak menyediakan kemungkinan untuk mencarinya ke ruang lain, di dalam. Kenapa aku hanya terfokus pada ruangku, dan keluar. Ya, binggo. Ia ada di rak pakaianku. Entah dari kapan mereka sudah berada satu kamar denganku. Lega. Semua kecemasanku ikut berpulang ke kandang mereka. Kepanikan kehilangan mereka, hampir mirip dengan perasaan ketika mendapatkan nilai buruk dan harus remedial di semua mata pelajaran, atau seperti dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang pada mata kuliah statistik dan bahasa inggris.

Ah.Mereka memang bagian penting dalam hidupku saat ini. Bagaimana tidak, sejak memutuskan untuk tidak memelihara kucing, hamster adalah hewan yang paling kuincar untuk kupelihara. Memendam hampir tiga tahun keinginan untuk memiliki hamster, sejak Agustus merekalah yang menjadi teman bermain. Mereka yang pertama kujenguk saat aku bangun, mereka yang terlebih dahulu kumandikan, padahal aku masih bersama aroma kasur dan bantal. Mereka yang kucari ketika pulang bepergian. Bahkan saat aku punya peliharaan baru, ikan-ikan kecil yang lihai memanjakan mata dengan lekuk tubuh dan ayun gemulai mereka di air yang menenangkan,aku masih jauh lebih sayang dengan hamster//hewan yang sering disebut tikus oleh tetanggaku yang sok tahu//. 

Entah apa maksud Tuhan menggerakkan kaki-kaki kecil Umprit dan Umpret hingga ia keluar kandang. Hmmm, aku tersentak. Beberapa hari ini aku memang agak sedikit acuh pada mereka. Seperti tak bersebab, tak ada kesibukan yang sedang memaksaku untuk kehilangan waktu, tak ada hal baru yang lebih menarik daripada mereka, tak ada ulah mereka yang menjengkelkan, tapi …ya entahlah, agak enggan saja bermain dengan mereka, mengurusi mereka seperti biasa, atau memberikan mereka asupan makanan ekstra seperti sebelumnya. Dan kehilangan mereka dalam seperkian menit itu memang membuatku terdiam lebih lama di awal hari, di awal minggu. Kehilangaan di pagi Senin,di awal minggu yang membawaku pada banyak perkara.

Tuhan sedang memberikan pagi Senin yang indah. Tuhan sedang menyapaku di awal Minggu. Tuhan menjawab semua celotehan, omelan, keluhan, kemarahan, kesakitan yang beberapa saat ini memang sering aku adukan. Aku sedang kehilangan dua hal terbesar dalam hidupku saat ini. Mungkin bukan pada bagian tulisan ini kurinci, tapi kata terbesar, semoga akan membuat siapa saja paham bahwa itu penting bagiku. Aku mengutuk keadaan, aku mengutuk kehilangan itu berkali-kali. Hingga aku lupa. Apa yang sedang bersamaku, apa hal yang sudah kudapatkan dan sampai hari ini masih diizinkan Tuhan untuk kumiliki. 

Aku tersenyum di depan kandang Umprit dan Umpret. Kuhirup nafas lega, yang beraroma rasa syukur yang manis. Tuhan menjawab dan menegurku. Kenapa musti mengutuk yang hilang itu berkali-kali. Padahal aku masih punya banyak hal besar untuk kujaga. Aku tahu satu hal hari ini, bahwa yang hilang belum tentu akan kembali ke sisiku, meski aku mengutuknya sekeras mungkin, seperti Ibu yang mengutuk malin kundang menjadi batu. Tapi apa yang aku punya, masih menyisakan kemungkinan manis untuk tidak pergi, menjauh dan mengenalkanku pada kehilangan berikutnya. Mereka masih bersamaku. Masihkah aku lalai menjaga apa yang kini bersamaku ?

Tuhan sudah memberikan pagi Senin yang indah; awal minggu yang sejuk. Semua tergantung bagaimana aku melanjutkan hari berikutnya, hingga minggu ini berjalan baik. Begitupun minggu-minggu berikutnya. 


DuniaKata.yo.sinta

Pages - Menu

Pages - Menu

Popular Posts

Blogger news

Blogger templates

 

Template by BloggerCandy.com