*saat tulisan ini dibuat ada tiga bocah yang
sedang tak jauh dari dudukku dan bertingkah sesuka mereka,. Faqih di kananku,
Evand dan Fadil di kiriku. Mereka duduk manis disamping meja laptop lesehan
yang aku gunakan. Mereka mengeja kata demi kata yang kutulis. Ya, mereka
melihat apa yang kutulis ini, termasuk saat aku mendeskripsikan keberadaan
mereka yang saat ini yang juga sedang mengunyah biskuit keju. Ada Evand yang
membacakan apa yang kutulis dengan nyaring, ya mungkin ini caranya menyeimbangi
dua teman kecilku yang lain, menyeimbangi Fadil yang masih belum lancar membaca
tulisan serapat ini, dan Faqih yang masih mengeja huruf demi huruf. Entah
mengerti entah tidak mereka, tapi mereka tertawa, entah apa yang mereka
tertawakan, mungkin karena nama mereka disebut dalam tulisan ini. Ya, mereka yang saia panggil teman. Mereka
sebagian dari mereka yang lain.
Faqih, Evan,
Fadil, Obin, Daus, Fauzi, Alif, Agi, Abi, Nancy, Uli, Sifah, Naqia, Rafi, Paul,
Rendi, Ali, Reza, Aji, dan beberapa nama lagi yang mungkin singgah-tapi luput
dari ingatanku, karena mungkin sesekali hadir. Ya, nama-nama itulah yang sering
kueja satu bulan belakangan. Teman bermain, teman belajar, teman bertengkar,
teman membaca, teman menulis, teman menghitung, teman tertawa. Teman
hidup.
Berawal dari
perpindahan haluan, pergeseran tempat berpijjak. Sesuatu yang terjadi
tiba-tiba, membawaku ke tempat ini.Tempat yang sebelumnya tak pernah aku
bayangkan dan prediksi. Aku juga terheran, ada tempat sesurga ini di belahan
bumi yang beriklim tropis. Ini surga kedua yang pernah aku kunjungi. Ya, ini
kembali mengingatkanku pada Kamang. Kampung kecil di Sumatera Barat sana, yang
kusebut kampung sudut. Kampung yang sempat kuhuni lebih kurang dua bulan ketika
aku menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang menjadi bagian dari proses studi
S1ku dua tahun yang lalu. Kampung yang jauh dari hingar bingar metropolitan,
gemerlap kemewahan yang membuat perut mual. Kampung yang menyimpan udara segar,
masyarakat yang ramah-tamah, sayur mayur segar yang siap petik, pohon-pohon
besar, hewan ternak yang berisik tapi asyik, dan tentunya ada anak-anak yang
riang berlari kesana kemari, dan tertawa tanpa batas di bawah hujan sambil
menggiring bola di lapangan hijau. Dan ini seperti Kamang itu. Aku sedang
berada di tempat mirip Kamang itu. Jika boleh kubilang, ini bukan bagian dari
ibu kota yang pongah dan gersang.
Dan di
tempat teduh ini mereka ada, aku kenal.
Kelincahan
peliharaanku menjadi awal pertemanan kami. Sejak memutuskan untuk memelihara
dua ekor hamster yang hari ini sudah bertambah jumlahnya dengan kehadiran satu
ekor anak mereka, aku memang berkomitmen untuk membawa mereka kemanapun aku
menetap. Mengusahakan mereka ikut, kalaupun aku harus bepergian lama dan jauh.
Jadi sudah pasti mereka ikut bersamaku saat ini. Aku saja suka, apalagi mereka.
Melihat hamsterku yang tidak akan diam-bergerak sesukanya-kesana kemari, bulu
mereka yang halus saat dipegang, kandang warna-warni, ditambah ikan-ikan kecil
peliharaan baruku; mereka melirik, mengintip, lalu akhirnya kupersilahkan masuk
ke ruangku.Satu anak, dua anak, tiga anak, dan tiba-tiba ruang ini
sesak.Dipenuhi belasan anak. Sesak yang bukan membuatku susah bernafas, tapi
malah tersenyum.
Bermain
hamster, memberi makan ikan, lalu bergeser pada kegiatan mencoret-coret kertas
dengan gambar entah yang indah. Pada hari pertama tidak kuduga akan ada
kunjungan manis berikutnya. Mereka makin sering bermain//singgah ke ruang
sempitku ini. Liburan tiba,merekapun jadi alarmku pagi hari. Jangan harap aku
akan bisa bangun kesiangan; saat memejamkan mata pada malam hari, aku akan
sudah harus siap mendengar teriakan mereka di depan pintu, dan jika tak kunjung
kujawab mereka akan menggedor pintu; seperti tetangga yang meminta tolong
karena rumah mereka kebakaran.
Di hari
libur ini, pagi adalah jadwal kami membereskan peliharaanku, yang sekarang juga
menjadi peliharaan mereka. Ya, peliharaan mereka, 18 ikan di aquariumku sudah
bertambah jumlahnya,meski kularang, mereka kerap menyisihkan uang jajan mereka
untuk membeli ikan.Sudah puluhan ikan yang juga sesak dalam aquarium kecil itu,
seperti sesaknya ruangan ini, namun bahagia membuat ikan dan kami di ruang ini
masih sangat bisa bernafas dengan baik.
Jika kandang
hamster sudah bersih, air di aquarium sudah diganti dan ikan-ikan kembali
melenggok gemulai, mereka mulai membongkar rak bukuku. Ya, sejak awal menerima
mereka disini, aku sadar buku adalah satu benda pintar yang meski ada diantara
kami. Hingga kini rak buku sederhanaku juga sudah dipenuhi dengan buku komik,
majalah,buku bacaan yang seadanya, namun cukup layak untuk mereka baca. Kadang
buku itu jadi panduan gambar mereka, sesekali aku berkenan membacakan, sesekali
mereka membalik-balik halaman, melihat gambar saja, sesekali ada yang membaca
dengan serius di pojok ruangan.
Lalu jika tumpukan
buku sudah mulai dibongkar, dan satu persatu buku sudah berserakan, akan ada
yang mulai berkata “Kak, minta kertas kak”. Hampir semua dari mereka suka
menggambar, meski tidak semua berbakat, tapi aku tahu satu hal mereka semua
suka mencoret, dan tentunya kertas adalah media yang pas untuk mereka coret.
Saat sudah disibukkan dengan lembaran kertas mereka masing-masing, saat itulah aku mensiasati waktu, menarik mereka
bergantian untuk belajar pada mata pelajaran yang tidak mereka kuasai dengan
baik, semisal Faqih murid kelas satu yang belum bisa membaca, Obin yang pintar
matematika, namun lemah di Bahasa Inggris, atau Fadil siswa kelas tiga yang
belum hafal perkalian, Daus yang masih kebingungan saat berhadapan dengan soal
perkalian yang digabungkan dengan penambahan dan mengurangan, atau seperti Alif
yang selalu salah saat tugas pemenggalan suku kata di mata pelajaran Bahasa
Indonesia.
Nanti saat
semua sudah membosankan untuk mereka, mereka akan berlari ke luar ruang.
Bermain benteng di lapangan samping rumah, atau kemanapun mereka ingin berlari.
Ya, saat itulah semua kertas,buku, alat tuli, kurapikan kembali. Namun
siap-siap, nanti saat mereka sudah tak ingin bersama teriknya matahari dan
keringat asin beramoma letih, akan ada yang kembali mengetuk pintu, memanggil
dan ruang ini kembali berantakan. Mungkin akan tiga sampai lima kali dalam
sehari ruang ini disapu dan ditata ulang, ya; karena mereka anak-anak.
Sesekali
akan ada dari mereka yang berinisitif untuk main ke lapangan rumput yang cukup
jauh dari sini, untuk bermain layangan, bola, benteng, atau permainan melelahkan
lainnya yang pas dilakukan di lapangan rumput yang cukup luas itu. Dan “lupakan
usia 24 tahunmu, Sinta”. Itulah instruksi yang pas untukku saat mereka sudah
merengek dan sedikit memaksa agar aku ikut bermain dengan mereka di luar.
Jangan kira
nanti mereka akan pulang ke rumah, bisa saja mereka akan kembaali akan memilih bersama dengan kertas-kertas di
ruangku.Ya, wajar saja aku harus menyediakan puluhan lembaran kertas yang akan
mereka penuhi dengan coretan tangan mereka. Atau mereka juga sudah mulai menjelajah dunia lewat permainan monopoli,
mulai memahami sedikit tentang jual beli, tentang ekonomi, tentang strategi,
tentang investasi dan membaca posisi Negara yang mereka huni dimata dunia;
hingga sempat suatu hari salah satu dari mereka berkata “ Kak, kenapa harga
Indonesia murah sekali dibanding negara lain”. Aku gagu; pelajaran mana yang
harus aku berikan untuk menjawab pertanyaan mereka; kewarganegaraan atau
ekonomi. Aaaaah.
Banyak hal
menarik lainnya yang mungkin terjadi dalam satu hari. Selalu ada keajaiban yang
dikirim Tuhan untukku lewat mereka. Semua kegiatan baru akan berakhir pukul 9
malam. Salah satu atau dua dari mereka akan pulang karena sudah dijeput,
selebihnya pulang saat aku meminta mereka untuk pulang, dan selebihnya masih
membandel untuk tetap tidak ingin pulang; hingga akhirnya ruang ini baru kosong
pada pukul 10. Hampir tak ada hari yang kulewatkan tanpa mereka satu bulan ini.
Ya aku
bahagia.
Mereka
membuat aku kembali tersenyum, tertawa, dan sesakali menggenangi mataku dengan
tangis haru.
***
DuniaKata.yo.sinta
di bulan
terakhir di tahun 2014