Tak ada yang
akan mampu berbohong, jika jauh dari orang yang disayangi adalah bagian dari
rasa sakit terburuk yang pernah terlahir ke muka bumi. Entah itu karena orang
yang (nyata) sudah mengambil bagian penting dalam hidupmu-seperti ibu, ayah,
adik, kakak, teman atau kekasih. Ataupun
mereka yang hanya kau simpan dalam bola matamu, yang diam-diam kau titipkan
rindu, kau kirimkan doa dan kau puja dalam diam yang manis. Jauh dari mereka
adalah rasa sakit yang bukan main; perih saat kau mengingat, pilu saat kau mengeja
namanya pelan, dan ngilu saat kau utarakan rindu; meski sayup tak terdengar.
-kupanggil
ia; Rindu-
Ya, hari demi hari yang kau jalani dalam
hidup pasti akan mengantarkanmu pada banyak sosok, disengaja atau tidak. Sesepi
apapun kehidupanmu, pasti kau tak sendiri. Ada lalulalang orang yang mendampingi
pada banyak peristiwa, melemahkan atau menguatkanmu untuk setia bersama hidup. Lalulalang
orang yang juga mengantarkanmu pada banyak proses; diinginkan atau tidak ia, penting
atau tidak penting ia, berarti atau tidak berarti ia, menyenangkan atau
menjengkelkan ia, tapi merekalah yang sedang (setia) lalulalang dalam kehidupanmu
yang masih akan berjalan dan sedang menggiringmu perlahan pada kata “sampai”;
tujuan akhir dari hidupmu. Ya, aku masih percaya, sesepi apapun kehidupan yang
kita miliki, kita tak sendiri.
Diantara lalulalang
sosok/orang/rupa/aroma/nafas itu kau pasti menaruh harap pada, satu, dua, tiga,
atau lebih dari mereka untuk mau singgah dan bertahan lama pada tiap amukan
badai yang kerap berkelahi dengan hari-harimu. Tak ada anak yang mau kehilangan
orangtuannya, kehilangan sosok yang akan ia panggil dengan sapaan “Ibu”-“Ayah”.
Tak ada kakak yang ingin adiknya menjauh, tak ada adik yang ingin kakaknya tak
lagi bisa jadi tempat ia berlindung dari garangnya hari. Tak ada yang ingin
kesepian karena kehilangan sosok yang sudah ia labeli dengan kata “sahabat”.
Tak ada kekasih yang ingin patah hati. Ya, merekalah orang-orang yang kerap kau
titipkan “harapan” agar mereka bertahan lama untuk melihat prosesmu. Tapi ya,
itu adalah perkara harapan.
Bukankah
harapan akan mendekatkanmu pada kenyataan buruk, seperti halnya ia
mendekatkanmu pada apa yang sedang kau harapkan. Tak ada yang tahu apa yang
disimpan waktu untuk masing-masing harapan.
Semua mungkin saja terjadi tidak seperti apa
yang diharapankan; lebih baik atau lebih buruk. Semua bisa saja tak sesuai
harapan. Bisa saja mereka yang kau harapkan ada dan hadir malah akan
mengantarkanmu pada kesepian panjang yang tumbuh dan beranak pinak dari rindu
yang tak usai. Rindu tak bisa bersamanya, tak bisa mendengar suaranya, tak bisa
melihatnya, bahkan untuk berkata “rindu” saja kau “bisu”. Ya, dari rindulah
pesakitan dan kesepian kerap menjalar.
Aku memang percaya bahwa; sesepi apapun
kehidupan yang kita miliki, kita tak sendiri. Tapi jauh dibalik percaya itu,
aku meyakini satu hal; “nanti, kau pasti akan sendiri”. Kau tak akan bisa
memboyong mereka semua di garis akhir, di garis “finish” kehidupanmu. Seperti
seorang pelari. Ada pelatih yang sedianya menjadi orang paling lantang
berteriak saat latihan di hari-hari sebelum perlombaan. Atau bahkan ia masih
saja menjadi orang yang teriaknya paling lantang saat sang pelari sudah
memasuki arena perlombaan dan mengayunkan kakinya dengan sekuat tenaga-sekencang-kencangnya.
Atau jauh di lubuk hati sang pelari, ada ibunya, ayahnya, saudaranya, temanya,
kekasihnya, yang menjadi alasannya berlari. Namun tetap sang pelari akan tetap
berlari sendiri di arena perlombaan, dan jika berhasil, ia juga tak bisa
memboyong mereka yang ada dibalik keberhasilan itu untuk memutus bentangan
tali/pita di garis finish sebagai pertanda ia menang. Cukup senyum yang kerap
berbinar di tribun penonton, pertanda bahwa mereka ikut menjadi bagian dari
kemenangan itu. Ya, aku percaya, nanti kita pasti sendiri.
Di balik harimu yang ramai; dipenuhi banyak
orang, kau sebenarnya sendiri. Sekeras apapun mereka mengajarkanmu tentang
hidup, mendiktemu tentang semua yang baik, menjauhkanmu dari hal buruk, menguatkanmu
saat kau jatuh, tapi semua akan berpulang
pada dirimu. Karena hidup milik masing-masing. Dalam hidup kau tak diizinkan
berduet seperti di pentas dangdut. Dalam hidup kau juga tak diizinkan menjadi duo
atau grup seperti dalam festival musik yang megah, meski hidup hampir mirip
dengan pentas dangdut yang heboh dan festival musik yang riuh. Sedianya kau tetap
akan menjadi single fighter, hingga
nanti kau akan menjadi single winner atau single loser.
Percayalah, sekeras apapun mereka yang kerap
kau rindukan itu memberikan dan mendoakan yang terbaik bagi hidupmu, tapi Tuhan
akan lebih percaya pada usaha dan doa-doamu.
Teruslah menaruh harap dan menjaga rindu pada
mereka, tapi belajar keraslah untuk percaya bahwa kesepian panjang tak lebih
penting dari memaknai hidup yang lambat laun sedang mengantarkanmu pada
kesendirian. Walaupun kau tak mampu berbohong bahwa jauh dari orang yang
disayangi adalah bagian dari rasa sakit terburuk yang pernah terlahir ke muka
bumi, tapi kau harusnya tak perlu merasa canggung dan enggan karena nanti kau juga
akan sendiri.
Kau hanya perlu tahu cara menikmati rindu,
sembari menjadi single fighter untuk
hidupmu.
DuniaKata.yo.sinta
di awal November
2014
*Tulisan ini untuk seseorang yang telah
mengajarkan banyak hal dalam hidupku hampir satu tahun belakangan. Tulisan ini,
juga hasil belajarku dari sosoknya yang teramat cerdas (hingga sangat jarang
bisa ”kutakhlukkan” keliarannya berpikir dan bertindak). Meski kali ini ia
memberikan cara belajar yang berbeda; tidak dari diskusi panjang atau tidak dari perdebatan yang kerap tak ber-ending.
Aku (masih) akan berterimakasih. (masih) ia yang memberikan banyak pelajaran baru
untuk hidupku, meski (bukan lagi) ia yang sedang berdialog dengan mataku
seperti waktu-waktu sebelumnya.
Terimakasih telah mengajarkanku untuk bisa
berjalan sendiri.
Meski aku belum tahu, aku sampai atau tidak. Aku
menang atau kalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar